Minggu, 22 November 2015

Payo Kito Beladas (?)

Payo kito beladas berarti ayo kita bersenang-senang. Potongan kalimat diatas adalah bahasa asli Palembang. 10 Oktober 2015 lalu aku berkesempatan menginjakkan kaki kembali di Pulau Sumatera, Kota Pempek, Palembang. Ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini dikenal dengan wisata kulinernya yang enak nian. Penasaran mengapa aku bisa sampai Palembang? Apa saja yang aku lakukan disana? Yuk, kita simak kisah perjalananku kali ini.

Di penghujung tahun 2015 ini aku berkesempatan mengikuti presentasi karya poster publik di acara Scientific Project and Olympiad of Sriwijaya (SPORA) yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Ini artinya aku diberi kesempatan lagi untuk sekedar pelesir melepas penat di luar kota, eits ini hanya bonus, tujuan utamanya tentu berjuang memberikan karya terbaik agar hasil karyaku ini bisa dimanfaatkan untuk edukasi pencegahan penyakit urogenital.
Selama 4 hari ku habiskan waktu di sana. Palembang, masih bisa kulihat jejak agung kejayaan Sriwijaya pada masanya. Artefak, prasasti masih bisa ditemui di Museum Purbakala maupun di Museum Sultan Badaruddin 2. Kombinasi apik antara unsur Hindu, Budha, Islam berpadu dengan kebudayaan Tiongkok, Melayu dan Jawa dapat ditemui di beberapa sudut bangunan, Masjid Agung Palembang misalnya.


Soal kuliner, sudah menjadi rahasia umum. Palembang dikenal memiliki aneka ragam olahan bercita rasa menggoda, mulai dari pempek, tekwan, lenjer, mie celor, pindang, kemplang sampai dengan kerupuk ikan belida. Lezatnya olahan makanan ini paling pas disantap di tepian Sungai Musi, apalagi ditemani pemandangan Jembatan Ampera yang gemerlap di malam hari. Dulu, aku hanya bisa melihat kokohnya Jembatan Ampera di tv, Alhamdulillah sekarang kesampaian melihat secara langsung.

Palembang memang indah, mempesona bagi siapa saja yang pernah mengunjunginya. Namun, dibalik kecantikan kotanya, Palembang menyimpan permasalahan yang tak kunjung selesai. ASAP. Iya, asap. Selama 4 hari berada disana, rasa tidak nyaman agak menggangguku ketika beraktifitas di luar ruangan. Kemana-mana harus sedia masker, bahkan tenggorokan terasa gatal dan serak. Jika kau tahu, sinar matahari pun tak mampu menembus lapisan asap yang setiap hari menyelimuti kota ini, apalagi saat pagi dan malam hari. Wajar, apabila penerbangan yang hendak membawaku pulang mengalami delay beberapa kali. Jarak pandang di angkasa hanya 6 kilometer, pilot tak mau ambil risiko terlalu tinggi.

Di beberapa sudut kota, warga tak bisa berbuat banyak. Maklum lahan gambut memang susah dipadamkan apabila terjadi kebakaran. Di wilayah lainnya, orang-orang berbondong-bondong melaksanakan sholat istisqa’ (sholat minta hujan), ya hanya itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan, Allah yang Maha Berkehendak menentukan turun tidaknya hujan. Mungkin Allah memang sengaja menunda turunnya hujan, ini akan menjadi pelajaran yang berarti supaya manusia lebih berhati-hati. Air, udara, tanah, api, semua adalah ciptaan-Nya bukan? Manusia sebagai khalifah, diamanahi untuk menjaga, merawat dan melestarikan, bukan untuk merusak. Ingat itu! Bagaimana bisa kita berteriak payo kito beladas saat masih terkepung asap?

Oke kembali ke cerita perjalananku. Di hari terakhir, sebelum menuju ke Bandara Internasional Sultan Badaruddin II, aku menghabiskan waktu sekedar nongkrong ria di Palembang Icon. Palembang Icon ini adalah mall kebanggaan warga Palembang. Hampir sama dengan mall-mall di kota lainnya, display barang-barang branded ada dimana-mana. Jajanan berharga mahal juga ada. Intinya aku sama sekali tak tergoda. Kuakui untuk bisa hidup di Pulau Sumatera perlu perjuangan yang lebih besar dibanding hidup di Pulau Jawa. Sebagai contoh, di Jogja dengan uang 10.000 anak kos bisa tetap sehat, standar gizi seimbang bisa terpenuhi, bandingkan teman-teman kita yang hidup nge-kos di Medan, Palembang, atau Bandarlampung, wah bisa dapat apa ya kira-kira? Sebuah keberuntungan apabila berkesempatan berkuliah di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta.


Lain lidah, lain rasa. Ya, kuliner Palembang memang enak, tapi dimanapun dan kemanapun aku perlu tentu perlu adaptasi. Terlahir sebagai seorang anak berdarah Jawa asli (blasteran Jogja-Solo pinggiran) membuat lidahku sulit berkompromi dengan makanan-makanan baru, misalnya saat mencicip mie aceh atau roti cane yang dulu sempat aku ceritakan, membuat diriku lebih berhati-hati saat mencicipi sendokan pertama. Hal semacam ini terulang lagi ketika di Palembang, hal ini diperparah saat alergiku muncul ketika mengonsumsi seafood terlalu berlebihan. Ya, tiba di Jogja aku masih merasakan gatal dan pilek yang teramat sangat, bahkan hingga berlangsung hamper 3 minggu. Mau dikata, sekali lagi pelajaran untukku, “berlebihan itu tidak baik”. Kondisi tak kunjung membaik, hingga akhirnya aku memutuskan, 3 hari setelah aku tiba di Jogja aku harus melakukan perjalanan lagi ke Kota Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar