Payo kito beladas berarti ayo kita bersenang-senang.
Potongan kalimat diatas adalah bahasa asli Palembang. 10 Oktober 2015 lalu aku
berkesempatan menginjakkan kaki kembali di Pulau Sumatera, Kota Pempek,
Palembang. Ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini dikenal dengan wisata
kulinernya yang enak nian. Penasaran mengapa aku bisa sampai Palembang? Apa
saja yang aku lakukan disana? Yuk, kita simak kisah perjalananku kali ini.
Di penghujung tahun 2015 ini aku berkesempatan mengikuti
presentasi karya poster publik di acara Scientific Project and Olympiad of
Sriwijaya (SPORA) yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. Ini artinya aku diberi kesempatan lagi untuk sekedar pelesir melepas
penat di luar kota, eits ini hanya bonus, tujuan utamanya tentu berjuang
memberikan karya terbaik agar hasil karyaku ini bisa dimanfaatkan untuk edukasi
pencegahan penyakit urogenital.
Selama 4 hari ku habiskan waktu di sana. Palembang, masih
bisa kulihat jejak agung kejayaan Sriwijaya pada masanya. Artefak, prasasti
masih bisa ditemui di Museum Purbakala maupun di Museum Sultan Badaruddin 2.
Kombinasi apik antara unsur Hindu, Budha, Islam berpadu dengan kebudayaan
Tiongkok, Melayu dan Jawa dapat ditemui di beberapa sudut bangunan, Masjid
Agung Palembang misalnya.
Soal kuliner, sudah menjadi rahasia umum. Palembang dikenal
memiliki aneka ragam olahan bercita rasa menggoda, mulai dari pempek, tekwan,
lenjer, mie celor, pindang, kemplang sampai dengan kerupuk ikan belida.
Lezatnya olahan makanan ini paling pas disantap di tepian Sungai Musi, apalagi
ditemani pemandangan Jembatan Ampera yang gemerlap di malam hari. Dulu, aku
hanya bisa melihat kokohnya Jembatan Ampera di tv, Alhamdulillah sekarang
kesampaian melihat secara langsung.
Palembang memang indah, mempesona bagi siapa saja yang pernah mengunjunginya.
Namun, dibalik kecantikan kotanya, Palembang menyimpan permasalahan yang tak
kunjung selesai. ASAP. Iya, asap. Selama 4 hari berada disana, rasa tidak
nyaman agak menggangguku ketika beraktifitas di luar ruangan. Kemana-mana harus
sedia masker, bahkan tenggorokan terasa gatal dan serak. Jika kau tahu, sinar
matahari pun tak mampu menembus lapisan asap yang setiap hari menyelimuti kota
ini, apalagi saat pagi dan malam hari. Wajar, apabila penerbangan yang hendak
membawaku pulang mengalami delay beberapa
kali. Jarak pandang di angkasa hanya 6 kilometer, pilot tak mau ambil risiko
terlalu tinggi.
Di beberapa sudut kota, warga tak bisa berbuat banyak.
Maklum lahan gambut memang susah dipadamkan apabila terjadi kebakaran. Di
wilayah lainnya, orang-orang berbondong-bondong melaksanakan sholat istisqa’
(sholat minta hujan), ya hanya itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan,
Allah yang Maha Berkehendak menentukan turun tidaknya hujan. Mungkin Allah
memang sengaja menunda turunnya hujan, ini akan menjadi pelajaran yang berarti
supaya manusia lebih berhati-hati. Air, udara, tanah, api, semua adalah
ciptaan-Nya bukan? Manusia sebagai khalifah, diamanahi untuk menjaga, merawat
dan melestarikan, bukan untuk merusak. Ingat itu! Bagaimana bisa kita berteriak
payo kito beladas saat masih
terkepung asap?
Oke kembali ke cerita perjalananku. Di hari terakhir,
sebelum menuju ke Bandara Internasional Sultan Badaruddin II, aku menghabiskan
waktu sekedar nongkrong ria di Palembang
Icon. Palembang Icon ini adalah mall kebanggaan warga Palembang. Hampir
sama dengan mall-mall di kota
lainnya, display barang-barang branded
ada dimana-mana. Jajanan berharga mahal juga ada. Intinya aku sama sekali tak
tergoda. Kuakui untuk bisa hidup di Pulau Sumatera perlu perjuangan yang lebih
besar dibanding hidup di Pulau Jawa. Sebagai contoh, di Jogja dengan uang
10.000 anak kos bisa tetap sehat, standar gizi seimbang bisa terpenuhi,
bandingkan teman-teman kita yang hidup nge-kos di Medan, Palembang, atau
Bandarlampung, wah bisa dapat apa ya kira-kira? Sebuah keberuntungan apabila
berkesempatan berkuliah di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta.
Lain lidah, lain rasa. Ya, kuliner Palembang memang enak,
tapi dimanapun dan kemanapun aku perlu tentu perlu adaptasi. Terlahir sebagai
seorang anak berdarah Jawa asli (blasteran Jogja-Solo pinggiran) membuat
lidahku sulit berkompromi dengan makanan-makanan baru, misalnya saat mencicip
mie aceh atau roti cane yang dulu sempat aku ceritakan, membuat diriku lebih
berhati-hati saat mencicipi sendokan pertama. Hal semacam ini terulang lagi
ketika di Palembang, hal ini diperparah saat alergiku muncul ketika mengonsumsi
seafood terlalu berlebihan. Ya, tiba
di Jogja aku masih merasakan gatal dan pilek yang teramat sangat, bahkan hingga
berlangsung hamper 3 minggu. Mau dikata, sekali lagi pelajaran untukku, “berlebihan itu tidak baik”. Kondisi tak
kunjung membaik, hingga akhirnya aku memutuskan, 3 hari setelah aku tiba di
Jogja aku harus melakukan perjalanan lagi ke Kota Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar