Rabu, 06 Januari 2016

Bu, shafnya dirapetke nggih...

Alhamdulillah, kedua orangtuaku tidak salah memilihkan tempat belajar. Tiga tahun lalu, ketika hendak mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa baru lewat jalur SNMPTN, orangtuaku berkeinginan putri bungsunya untuk menimba ilmu di Yogyakarta.

“Ibu pengen adik ke Jogja aja, Semarang jauh lho dek, nanti kamu pulang muntah-muntah.”

Begitu kalimat ibu yang masih aku ingat, aku memang memiliki alergi tersendiri dengan bau solar dan asap kendaraan bermesin diesel apalagi diperparah dengan skill menyetir sopir bus yang lebih cocok jadi pembalap F1.  Ayah sendiri hanya mengamini, manut dengan kata-kata ibu. Sekedar kau tahu, ayahku orang Jogja, lahir di Jogja, dan sekolah di Jogja. Kakakku yang menekuni jalur seni juga lulusan Kota Gudeg ini.

Doa orangtua memang tak terduga. Menjadikan sesuatu yang sepertinya mustahil menjadi benar-benar terjadi. Aku resmi berstatus menjadi mahasiswi Yogyakarta, yang konon dikenal sebagai kota pendidikan.


Hal ini mengingatkanku lima tahun yang lalu, lagi-lagi ibuku memilihkan sekolah nomor satu di kota asalku, kota kecil yang selalu bersinar walau langit sedang mendung, Klaten Bersinar. Ibu memang begitu ajaib, seakan ia memiliki insting ajaib bahwa disinilah aku bisa belajar, berada ditengah lingkungan yang baik. Disinilah, tidak hanya ilmu keduniawian yang aku dapatkan, melainkan ilmu akhirat mulai aku kenal, agama. Aku mengalami perubahan besar. Dari sosok remaja perempuan (yang diragukan sisi feminimnya), perlahan aku mulai menutupi kepalaku dengan hijab. Di setiap Jumat, menjelang kegiatan Pramuka kami juga mendapatkan suplemen ilmu agama berupa kegiatan mentoring. Well, ini gerbang yang baik untuk membuka wawasan kami saat itu, remaja yang masih labil dikenalkan ilmu agama dengan cara yang fresh. 


Rasanya tidak lengkap ketika kepala sudah tertutup hijab namun pengetahuan akan ilmu agama masih nol (besar). Duh. Apalagi ketika ditanya teman.
Di sisi yang lain, sebagai mahasiswi aku dituntut untuk lebih peka dengan keadaan sekelilingku. Kepekaan seseorang berbanding lurus dengan seberapa besar kontribusinya terhadap lingkungan sekitar, ini sesuai dengan tridarma perguruan tinggi yang didengung-dengungkan di telinga mahasiswa.

Sedikit tersentil ketika Ramadhan lalu, aku pulang ke kampung halamanku.
Ramadhan, bulan yang ditunggu segenap kaum muslim. Entah takjil gratisnya, atau petasannya (?). Di bulan ini, semua orang yang KTPnya bertuliskan Islam di kolom agama mendadak meramaikan masjid, apalagi ketika di minggu pertama dan minggu terakhir Ramadhan. Yang tidak bisa ditemui di bulan-bulan selain Ramadhan selain ibadah puasa adalah shalat tarawih. Semua orang beramai-ramai melaksanakan ibadah sunnah ini tapi sering lupa sholat duhur, alasannya ketiduran, lemes gara-gara puasa.

Hal lain yang bisa kulihat ketika di masjid adalah perubahan ukuran sajadah. Bukan jamannya sajadah ukuran single, makin lebar saja. Mirip dengan karpet terbangnya Alladin. Sajadah ini seakan-akan berkata, “ini daerah kekuasaan majikan gue”. Bahasa halusnya, sajadah sudah beralih fungsi dari yang sebelumnya berfungsi sebagai alas sholat berubah menjadi batas kavling. Praktis, Shaf antar jamaah sholat menjadi longgar, bahkan bisa diisi oleh satu orang dengan ukuran tubuh sepertiku.

Hei, padahal yang kutahu shaf yang longgar akan diisi setan. Nah.
”Rapikanlah shof, sejajarkan antara bahu, penuhi yang masih kosong(masih longgar), bersikap lunaklah terhadap saudara kalian dan janganlah kalian biarkan kelonggaran untuk setan. Barang siapa yang menyambung shof, Alloh akan menyambungnya dan barang siapa yang memutus shof Alloh akan memutusnya.” (HR. Abu Dawud no. 666) 


Tak jarang, aku harus menegur ibu-ibu pengguna karpet Alladin itu untuk menggulung separuh sisi sajadahnya. Mungkin terasa tidak sopan, mungkin akan terbersit perasaan, “ini anaknya Bu Dwi bawel banget.”

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling berwasiat dengan kesabaran.” (Al-'Ashr: 1-3)

Well, tak masalah,  ini sudah menjadi kewajibanku. Kewajiban sebagai seorang muslimah, kewajiban sebagai orang (yang katanya) terpelajar, kewajiban untuk menyampaikan firman Allah.
 “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Di dalam kultur orang kampung, kepercayaan bisa didapatkan dengan merebut hati mereka, caranya dengan bertutur kata santun, tanpa merendahkan dan sopan. Sesuai dengan teori Leininger, transcultural nursing. Ikuti arus namun jangan sampai tenggelam. Paling tidak kita masih bisa berenang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar