Alhamdulillah, kedua orangtuaku tidak salah memilihkan
tempat belajar. Tiga tahun lalu, ketika hendak mendaftarkan diri sebagai calon
mahasiswa baru lewat jalur SNMPTN, orangtuaku berkeinginan putri bungsunya
untuk menimba ilmu di Yogyakarta.
“Ibu pengen adik ke Jogja aja, Semarang jauh lho dek, nanti
kamu pulang muntah-muntah.”
Begitu kalimat ibu yang masih aku ingat, aku memang memiliki
alergi tersendiri dengan bau solar dan asap kendaraan bermesin diesel apalagi
diperparah dengan skill menyetir
sopir bus yang lebih cocok jadi pembalap F1. Ayah sendiri hanya mengamini, manut dengan kata-kata ibu. Sekedar kau
tahu, ayahku orang Jogja, lahir di Jogja, dan sekolah di Jogja. Kakakku yang
menekuni jalur seni juga lulusan Kota Gudeg ini.
Doa orangtua memang tak terduga. Menjadikan sesuatu yang
sepertinya mustahil menjadi benar-benar terjadi. Aku resmi berstatus menjadi
mahasiswi Yogyakarta, yang konon dikenal sebagai kota pendidikan.
Hal ini mengingatkanku lima tahun yang lalu, lagi-lagi ibuku memilihkan sekolah nomor satu di kota asalku, kota kecil yang selalu bersinar walau langit sedang mendung, Klaten Bersinar. Ibu memang begitu ajaib, seakan ia memiliki insting ajaib bahwa disinilah aku bisa belajar, berada ditengah lingkungan yang baik. Disinilah, tidak hanya ilmu keduniawian yang aku dapatkan, melainkan ilmu akhirat mulai aku kenal, agama. Aku mengalami perubahan besar. Dari sosok remaja perempuan (yang diragukan sisi feminimnya), perlahan aku mulai menutupi kepalaku dengan hijab. Di setiap Jumat, menjelang kegiatan Pramuka kami juga mendapatkan suplemen ilmu agama berupa kegiatan mentoring. Well, ini gerbang yang baik untuk membuka wawasan kami saat itu, remaja yang masih labil dikenalkan ilmu agama dengan cara yang fresh.
Rasanya tidak lengkap ketika kepala sudah tertutup hijab
namun pengetahuan akan ilmu agama masih nol (besar). Duh. Apalagi ketika
ditanya teman.
Di sisi yang lain, sebagai mahasiswi aku dituntut untuk
lebih peka dengan keadaan sekelilingku. Kepekaan seseorang berbanding lurus
dengan seberapa besar kontribusinya terhadap lingkungan sekitar, ini sesuai
dengan tridarma perguruan tinggi yang didengung-dengungkan di telinga
mahasiswa.
Sedikit tersentil ketika Ramadhan lalu, aku pulang ke
kampung halamanku.
Ramadhan, bulan yang ditunggu segenap kaum muslim. Entah
takjil gratisnya, atau petasannya (?). Di bulan ini, semua orang yang KTPnya
bertuliskan Islam di kolom agama mendadak meramaikan masjid, apalagi ketika di
minggu pertama dan minggu terakhir Ramadhan. Yang tidak bisa ditemui di bulan-bulan
selain Ramadhan selain ibadah puasa adalah shalat tarawih. Semua orang
beramai-ramai melaksanakan ibadah sunnah ini tapi sering lupa sholat duhur, alasannya ketiduran, lemes gara-gara puasa.
Hal lain yang bisa kulihat ketika di masjid adalah perubahan
ukuran sajadah. Bukan jamannya sajadah ukuran single, makin lebar saja. Mirip dengan karpet terbangnya Alladin.
Sajadah ini seakan-akan berkata, “ini daerah kekuasaan majikan gue”. Bahasa
halusnya, sajadah sudah beralih fungsi dari yang sebelumnya berfungsi sebagai
alas sholat berubah menjadi batas kavling. Praktis, Shaf antar jamaah sholat
menjadi longgar, bahkan bisa diisi oleh satu orang dengan ukuran tubuh
sepertiku.
Hei, padahal yang kutahu shaf yang longgar akan diisi setan.
Nah.
”Rapikanlah shof,
sejajarkan antara bahu, penuhi yang masih kosong(masih longgar), bersikap
lunaklah terhadap saudara kalian dan janganlah kalian biarkan kelonggaran untuk
setan. Barang siapa yang menyambung shof, Alloh akan menyambungnya dan barang
siapa yang memutus shof Alloh akan memutusnya.” (HR. Abu Dawud no. 666)
Tak jarang, aku harus menegur ibu-ibu pengguna karpet
Alladin itu untuk menggulung separuh sisi sajadahnya. Mungkin terasa tidak
sopan, mungkin akan terbersit perasaan, “ini
anaknya Bu Dwi bawel banget.”
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal shaleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan saling
berwasiat dengan kesabaran.” (Al-'Ashr: 1-3)
Well, tak masalah,
ini sudah menjadi kewajibanku. Kewajiban sebagai seorang muslimah,
kewajiban sebagai orang (yang katanya) terpelajar, kewajiban untuk menyampaikan
firman Allah.
“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR.
Bukhari)
Di dalam kultur orang
kampung, kepercayaan bisa didapatkan dengan merebut hati mereka, caranya
dengan bertutur kata santun, tanpa merendahkan dan sopan. Sesuai dengan teori
Leininger, transcultural nursing. Ikuti arus namun jangan sampai tenggelam. Paling
tidak kita masih bisa berenang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar