Dua kata kunci pertama diatas tentu bukan hal asing bagi kita. Ya,
Malang. Tiga hari berselang setelah kepulanganku dari Kota Palembang aku
beralih menuju Kota Malang. Sibuk sekalli? Oh, tidak. Ini hanya masalah timing yang memang ditakdirkan
berdekatan. Pada mulanya aku juga tidak pernah mengira bahwa karya tulis
kelompokku akan lolos di seleksi 10 besar. Sempat merasa kurang sehat karena
faktor internal dan eksternal, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim
akhirnya aku memantapkan diri untuk berangkat. Perjalanan aku tempuh kurang
lebih selama 8 jam. Berangkat menggunakan Malioboro Ekspress, dengan mantap
kami melangkah.
Rombongan kami tiba di Kota Malang sekitar jam 04.00 WIB,
hawanya sejuk dan dingin. Bisa dipastikan, aku jatuh cinta dengan kota ini, seperti
Wonosobo. Liasion officer (LO) sudah siap menunggu rombongan tepat didepan ATM
BNI, Kris namanya. Ada yang berbeda ketika UGM bertemu dengan Universitas
Brawijaya, aku merasakan kekeluargaan yang sangat erat, teman-teman Brawijaya
sangat ramah dan satu lagi ada salah satu teman yang bernama Fatikha, kami
pertama kali bertemu ketika di Palembang (3 hari yang lalu), dan hari ini dia
rela datang jauh-jauh ke asrama mahasiswa Brawijaya membawakan kami 1 kardus
martabak daging dan 1 kardus martabak manis, dan rasanya sama persis seperti
yang biasa aku beli di dekat rumah, enak!
Malang terkenal karena klub sepakbolanya, masih ingat Irfan
Bachdim kan? Pemain sepak bola ganteng berwajah indo yang sempat nge
hits. Haha. Tidak cukup sampai Irfan
Bachdim, ternyata teman-teman disini cukup enak dilihat, ganteng tidak
keterlaluan dan cantik dalam porsi yang pas. Trus itu Mas Samy Simorangkir
siapa ya? Samy Simorangkir itu adalah mantan vokalis Kerispatih. Ya, maksudnya
begini salah satu panitia
Nursing
Scientific Festival (NSF) menurut rombongan UGM ada yang sangat mirip
dengan mas Samy Simorangkir, dan mendadak
hits
di dalam bus karena delegasi UGM yang paling berisik. Mas Samy Simorangkir
(bukan sesungguhnya) ini mendadak mencuri perhatian salah satu anggota delegasi
UGM yang merupakan kakak angkatanku, mbak Mawar (nama disamarkan). Tentu, kita
mendoakan yang terbaik terkait hubungan antara Mbak Mawar dengan Mas Samy Simorangkir.
Hal ini bisa menjalin hubungan bilateral kedua belah pihak, antara Universitas
Gadjah Mada dan Universitas Brawijaya.
 |
Universitas Brawijaya photo by : flickr.com |
Di hari kedua, kami mempresentasikan karya tulis ilmiah
kami. Berfokus pada
self management penggunaan
insulin kami mencoba menawarkan ide baru supaya diabetisi lebih taat dalam
penggunaan insulin. Setelah acara presentasi yang menguras tenaga dan pikiran
usai, kami menuju ke
Batu Night
Spectacular untuk bersenang-senang. Nah, di Kota Batu inilah aku memulai
debut pertamaku sebagai biduan di Jawa Timur, dengan suara yang sedikit habis
aku nekat mengambil mikrofon, bahasa gaulnya
nge-jam. Sebetulnya agak dilema karena sebelumnya, aku naik dua
permainan ala Dufan yang menguras adrenalin, kompensasinya suaraku habis karena
berteriak-teriak tak karuan. Ah tapi sudahlah tak apa, kesempatan tak datang
dua kali, siapa tau ada produser yang menonton. Hehe. Ini makin diperparah ketika
lagu yang kunyanyikan sama sekali tidak tepat, karena aku memilih lagu yang
dinyanyikan laki-laki sehingga di nada rendah suaraku tak terdengar, di nada
tinggi aku tercekik (muka polos). Oke, ini memang konyol (sekali). Mohon maaf
apabila ada pihak-pihak yang tidak berkenan.
 |
Batu Night Spectacular photo by : www.bnsbatu.net |
Empat hari di Malang, penyakit alergiku masih berlanjut,
selain gatal tak karuan, pilek juga tak berkesudahan apalagi hawa disana relatif
lebih dingin. Segala kekonyolan yang sudah aku perbuat sedikit mendistraksi,
namun tidak mengobati. Aku benar-benar butuh bertemu dengan dokter GMC (Gadjah
Mada Medical Center).
Hari berikutnya aku mengikuti seminar, seminar mengantak topic
perawatan luka pada diabetes, kami biasa menyebutnya diabetic foot ulcer. Ada hal menarik yang aku temukan disini, yang
pertama mengenai praktik mandiri keperawatan, yang kedua mengenai pendidikan
informal perawat klinisi. Ini akan sangat panjang bila kujelaskan di tulisan
ini, mungkin akan aku kupas lebih dalam mengenai 2 topik diatas di lain waktu.
Sekedar memberi wawasan, di dunia keperawatan dikenal
pendidikan informal seperti pelatihan perawatan luka, estetik, dan sebagainya.
Sebagai contoh aku yang telah menamatkan pendidikan S1 Keperawatan akan
bergelar Alfi Kurnia Adha, S.Kep., Ns (Ns boleh diletakkan di depan nama
menjadi Ns. Alfi Kurnia Adha, S.Kep tapi kurang baku, kata salah satu dosen
seperti itu) dan jika mengikuti pelatihan perawatan luka + lulus uji
kompetensinya akan ditambahkan gelar menjadi Alfi Kurnia Adha, S.Kep., Ns.,
CWCC (wound care clinician) dan
berhak membuka praktik mandiri keperawatan, praktik mandiri ini sudah memiliki
landasan hukum Permenkes RI No 17 tahun 2013.
Overlapping dengan
dokter? Oh tidak, tenang saja kami bekerja sesuai dengan kompetensi kami,
keperawatan. Dokter bekerja sesuai kompetensi mereka yaitu bidang medis dan
pengobatan. Apabila pasien membutuhkan penanganan medis, kami tetap akan
merujuk kepada dokter.
Stigma orang awam masih bermacam-macam, aku memaklumi. Bahkan
di kalangan akademisi juga masih sama halnya dengan orang awam, contohnya
seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di kampus paling hits di Indonesia
(anda pasti tau lah). Branding
perawat di kalangan masyarakat masih kurang jika dibanding dokter. Di tilik
dari perjalanan kedua profesi ini, memang sangat berbeda asal muasalnya. (bagi
anda yang penasaran, anda bisa kepo di buku Fundamentals
of Nursing, Kozier and Erbs, buku ini setebal Sobotta dan juga
berwarna-warni, bagus loh)
Yang kedua, gender berperan dalam branding profesi ini,
dahulu mayoritas dokter adalah laki-laki, budaya patrilineal yang dianut
masyarakat tempo dulu secara otomatis mengunggulkan profesi ini. Perawat,
seperti yang kita tahu mayoritas adalah perempuan.
Yang ketiga, jumlah institusi keperawatan yang semakin
banyak tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas lulusannya. Nah, inilah yang
selama ini perlu dikritik. Stikes A, stikes B, akper C, hampir semuanya
memiliki program S1 Ilmu Keperawatan, kompetensi lulusannya? Siapa yang berani
menjamin? Beruntungnya profesi ini masih memiliki harapan, universitas
terkemuka seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas
Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, Universitas
Brawijaya, Universitas Sumatera Utara, Universitas Udayana yang notabene
institusi pendidikan grade A berupaya mencetak perawat yang benar-benar
berkompeten, dan tidak abal-abal. Hey,
masa depan ada di pundakmu!
Hm, tulisanku sangat menyimpang dengan judul ya? Maafkan,
dorongan naluri. Ini benar-benar mengalir aku tulis tanpa rekayasa. Saran dari
teman-teman semua, baik dari kedokteran, gizi, kesehatan masyarakat, farmasi,
kedokteran gigi dan keperawatan gigi sangat diharapkan demi kemajuan profesi
perawat.
Jadi, bagaimana
pandanganmu mengenai perawat?