Rabu, 06 Januari 2016

Bu, shafnya dirapetke nggih...

Alhamdulillah, kedua orangtuaku tidak salah memilihkan tempat belajar. Tiga tahun lalu, ketika hendak mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa baru lewat jalur SNMPTN, orangtuaku berkeinginan putri bungsunya untuk menimba ilmu di Yogyakarta.

“Ibu pengen adik ke Jogja aja, Semarang jauh lho dek, nanti kamu pulang muntah-muntah.”

Begitu kalimat ibu yang masih aku ingat, aku memang memiliki alergi tersendiri dengan bau solar dan asap kendaraan bermesin diesel apalagi diperparah dengan skill menyetir sopir bus yang lebih cocok jadi pembalap F1.  Ayah sendiri hanya mengamini, manut dengan kata-kata ibu. Sekedar kau tahu, ayahku orang Jogja, lahir di Jogja, dan sekolah di Jogja. Kakakku yang menekuni jalur seni juga lulusan Kota Gudeg ini.

Doa orangtua memang tak terduga. Menjadikan sesuatu yang sepertinya mustahil menjadi benar-benar terjadi. Aku resmi berstatus menjadi mahasiswi Yogyakarta, yang konon dikenal sebagai kota pendidikan.

Rabu, 02 Desember 2015

Tapi tak begini, huwo…

Benar ku mencintaimu tapi tak begini
Kau khianati hati ini, kau curangi aku

Baper banget ya? eits, jangan salah fokus dulu. Kamu pernah mendengar potongan lirik lagu diatas? Yaps, lirik lagu diatas berjudul “Separuh Jiwaku Pergi” ciptaan dari Om Anang Hermansyah. Eh, lho ngapain ngomongin Om Anang Hermansyah? Karena di tulisanku kali ini, aku akan menceritakan perjalananku menuju Kota kelahiran Om Anang Hermansyah, Kota Jember.
Pernahkan kamu menemukan Kota Jember di peta Jawa Timur? Pernahkah kamu mendengar nama Kota Jember? Kalau belum, berarti kamu “kurang piknik”. Come on, sekali-kali kamu butuh refreshing sekedar travelling ke luar kota, mahasiswa diciptakan bukan hanya untuk sekedar duduk mendengar ceramah-pulang-praktikum-mendengar ceramah-begitu seterusnya hingga lulus. (Ditulis untuk diri sendiri sebagai cambuk biar nggak mager-an)
Jember Fashion Carnival
photo by : www.zimbio.com

Minggu, 22 November 2015

Arema, Gajayana, dan Mas Samy Simorangkir

Dua kata kunci pertama diatas tentu bukan hal asing bagi kita. Ya, Malang. Tiga hari berselang setelah kepulanganku dari Kota Palembang aku beralih menuju Kota Malang. Sibuk sekalli? Oh, tidak. Ini hanya masalah timing yang memang ditakdirkan berdekatan. Pada mulanya aku juga tidak pernah mengira bahwa karya tulis kelompokku akan lolos di seleksi 10 besar. Sempat merasa kurang sehat karena faktor internal dan eksternal, dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim akhirnya aku memantapkan diri untuk berangkat. Perjalanan aku tempuh kurang lebih selama 8 jam. Berangkat menggunakan Malioboro Ekspress, dengan mantap kami melangkah.

Rombongan kami tiba di Kota Malang sekitar jam 04.00 WIB, hawanya sejuk dan dingin. Bisa dipastikan, aku jatuh cinta dengan kota ini, seperti Wonosobo. Liasion officer (LO) sudah siap menunggu rombongan tepat didepan ATM BNI, Kris namanya. Ada yang berbeda ketika UGM bertemu dengan Universitas Brawijaya, aku merasakan kekeluargaan yang sangat erat, teman-teman Brawijaya sangat ramah dan satu lagi ada salah satu teman yang bernama Fatikha, kami pertama kali bertemu ketika di Palembang (3 hari yang lalu), dan hari ini dia rela datang jauh-jauh ke asrama mahasiswa Brawijaya membawakan kami 1 kardus martabak daging dan 1 kardus martabak manis, dan rasanya sama persis seperti yang biasa aku beli di dekat rumah, enak!

Malang terkenal karena klub sepakbolanya, masih ingat Irfan Bachdim kan? Pemain sepak bola ganteng berwajah indo yang sempat ngehits. Haha. Tidak cukup sampai Irfan Bachdim, ternyata teman-teman disini cukup enak dilihat, ganteng tidak keterlaluan dan cantik dalam porsi yang pas. Trus itu Mas Samy Simorangkir siapa ya? Samy Simorangkir itu adalah mantan vokalis Kerispatih. Ya, maksudnya begini salah satu panitia Nursing Scientific Festival (NSF) menurut rombongan UGM ada yang sangat mirip dengan mas Samy Simorangkir, dan mendadak hits di dalam bus karena delegasi UGM yang paling berisik. Mas Samy Simorangkir (bukan sesungguhnya) ini mendadak mencuri perhatian salah satu anggota delegasi UGM yang merupakan kakak angkatanku, mbak Mawar (nama disamarkan). Tentu, kita mendoakan yang terbaik terkait hubungan antara Mbak Mawar dengan Mas Samy Simorangkir. Hal ini bisa menjalin hubungan bilateral kedua belah pihak, antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Brawijaya.
Universitas Brawijaya
photo by : flickr.com

Di hari kedua, kami mempresentasikan karya tulis ilmiah kami. Berfokus pada self management penggunaan insulin kami mencoba menawarkan ide baru supaya diabetisi lebih taat dalam penggunaan insulin. Setelah acara presentasi yang menguras tenaga dan pikiran usai, kami menuju ke Batu Night Spectacular untuk bersenang-senang. Nah, di Kota Batu inilah aku memulai debut pertamaku sebagai biduan di Jawa Timur, dengan suara yang sedikit habis aku nekat mengambil mikrofon, bahasa gaulnya nge-jam. Sebetulnya agak dilema karena sebelumnya, aku naik dua permainan ala Dufan yang menguras adrenalin, kompensasinya suaraku habis karena berteriak-teriak tak karuan. Ah tapi sudahlah tak apa, kesempatan tak datang dua kali, siapa tau ada produser yang menonton. Hehe. Ini makin diperparah ketika lagu yang kunyanyikan sama sekali tidak tepat, karena aku memilih lagu yang dinyanyikan laki-laki sehingga di nada rendah suaraku tak terdengar, di nada tinggi aku tercekik (muka polos). Oke, ini memang konyol (sekali). Mohon maaf apabila ada pihak-pihak yang tidak berkenan.
Batu Night Spectacular
photo by : www.bnsbatu.net


Empat hari di Malang, penyakit alergiku masih berlanjut, selain gatal tak karuan, pilek juga tak berkesudahan apalagi hawa disana relatif lebih dingin. Segala kekonyolan yang sudah aku perbuat sedikit mendistraksi, namun tidak mengobati. Aku benar-benar butuh bertemu dengan dokter GMC (Gadjah Mada Medical Center).

Hari berikutnya aku mengikuti seminar, seminar mengantak topic perawatan luka pada diabetes, kami biasa menyebutnya diabetic foot ulcer. Ada hal menarik yang aku temukan disini, yang pertama mengenai praktik mandiri keperawatan, yang kedua mengenai pendidikan informal perawat klinisi. Ini akan sangat panjang bila kujelaskan di tulisan ini, mungkin akan aku kupas lebih dalam mengenai 2 topik diatas di lain waktu.

Sekedar memberi wawasan, di dunia keperawatan dikenal pendidikan informal seperti pelatihan perawatan luka, estetik, dan sebagainya. Sebagai contoh aku yang telah menamatkan pendidikan S1 Keperawatan akan bergelar Alfi Kurnia Adha, S.Kep., Ns (Ns boleh diletakkan di depan nama menjadi Ns. Alfi Kurnia Adha, S.Kep tapi kurang baku, kata salah satu dosen seperti itu) dan jika mengikuti pelatihan perawatan luka + lulus uji kompetensinya akan ditambahkan gelar menjadi Alfi Kurnia Adha, S.Kep., Ns., CWCC (wound care clinician) dan berhak membuka praktik mandiri keperawatan, praktik mandiri ini sudah memiliki landasan hukum Permenkes RI No 17 tahun 2013.
Overlapping dengan dokter? Oh tidak, tenang saja kami bekerja sesuai dengan kompetensi kami, keperawatan. Dokter bekerja sesuai kompetensi mereka yaitu bidang medis dan pengobatan. Apabila pasien membutuhkan penanganan medis, kami tetap akan merujuk kepada dokter. 


Stigma orang awam masih bermacam-macam, aku memaklumi. Bahkan di kalangan akademisi juga masih sama halnya dengan orang awam, contohnya seperti kasus yang baru-baru ini terjadi di kampus paling hits di Indonesia (anda pasti tau lah). Branding perawat di kalangan masyarakat masih kurang jika dibanding dokter. Di tilik dari perjalanan kedua profesi ini, memang sangat berbeda asal muasalnya. (bagi anda yang penasaran, anda bisa kepo di buku Fundamentals of Nursing, Kozier and Erbs, buku ini setebal Sobotta dan juga berwarna-warni, bagus loh)

Yang kedua, gender berperan dalam branding profesi ini, dahulu mayoritas dokter adalah laki-laki, budaya patrilineal yang dianut masyarakat tempo dulu secara otomatis mengunggulkan profesi ini. Perawat, seperti yang kita tahu mayoritas adalah perempuan.

Yang ketiga, jumlah institusi keperawatan yang semakin banyak tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas lulusannya. Nah, inilah yang selama ini perlu dikritik. Stikes A, stikes B, akper C, hampir semuanya memiliki program S1 Ilmu Keperawatan, kompetensi lulusannya? Siapa yang berani menjamin? Beruntungnya profesi ini masih memiliki harapan, universitas terkemuka seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran, Universitas Brawijaya, Universitas Sumatera Utara, Universitas Udayana yang notabene institusi pendidikan grade A berupaya mencetak perawat yang benar-benar berkompeten, dan tidak abal-abal. Hey, masa depan ada di pundakmu!

Hm, tulisanku sangat menyimpang dengan judul ya? Maafkan, dorongan naluri. Ini benar-benar mengalir aku tulis tanpa rekayasa. Saran dari teman-teman semua, baik dari kedokteran, gizi, kesehatan masyarakat, farmasi, kedokteran gigi dan keperawatan gigi sangat diharapkan demi kemajuan profesi perawat.

Jadi, bagaimana pandanganmu mengenai perawat?


Payo Kito Beladas (?)

Payo kito beladas berarti ayo kita bersenang-senang. Potongan kalimat diatas adalah bahasa asli Palembang. 10 Oktober 2015 lalu aku berkesempatan menginjakkan kaki kembali di Pulau Sumatera, Kota Pempek, Palembang. Ibukota Provinsi Sumatera Selatan ini dikenal dengan wisata kulinernya yang enak nian. Penasaran mengapa aku bisa sampai Palembang? Apa saja yang aku lakukan disana? Yuk, kita simak kisah perjalananku kali ini.

Di penghujung tahun 2015 ini aku berkesempatan mengikuti presentasi karya poster publik di acara Scientific Project and Olympiad of Sriwijaya (SPORA) yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Ini artinya aku diberi kesempatan lagi untuk sekedar pelesir melepas penat di luar kota, eits ini hanya bonus, tujuan utamanya tentu berjuang memberikan karya terbaik agar hasil karyaku ini bisa dimanfaatkan untuk edukasi pencegahan penyakit urogenital.
Selama 4 hari ku habiskan waktu di sana. Palembang, masih bisa kulihat jejak agung kejayaan Sriwijaya pada masanya. Artefak, prasasti masih bisa ditemui di Museum Purbakala maupun di Museum Sultan Badaruddin 2. Kombinasi apik antara unsur Hindu, Budha, Islam berpadu dengan kebudayaan Tiongkok, Melayu dan Jawa dapat ditemui di beberapa sudut bangunan, Masjid Agung Palembang misalnya.


Soal kuliner, sudah menjadi rahasia umum. Palembang dikenal memiliki aneka ragam olahan bercita rasa menggoda, mulai dari pempek, tekwan, lenjer, mie celor, pindang, kemplang sampai dengan kerupuk ikan belida. Lezatnya olahan makanan ini paling pas disantap di tepian Sungai Musi, apalagi ditemani pemandangan Jembatan Ampera yang gemerlap di malam hari. Dulu, aku hanya bisa melihat kokohnya Jembatan Ampera di tv, Alhamdulillah sekarang kesampaian melihat secara langsung.

Palembang memang indah, mempesona bagi siapa saja yang pernah mengunjunginya. Namun, dibalik kecantikan kotanya, Palembang menyimpan permasalahan yang tak kunjung selesai. ASAP. Iya, asap. Selama 4 hari berada disana, rasa tidak nyaman agak menggangguku ketika beraktifitas di luar ruangan. Kemana-mana harus sedia masker, bahkan tenggorokan terasa gatal dan serak. Jika kau tahu, sinar matahari pun tak mampu menembus lapisan asap yang setiap hari menyelimuti kota ini, apalagi saat pagi dan malam hari. Wajar, apabila penerbangan yang hendak membawaku pulang mengalami delay beberapa kali. Jarak pandang di angkasa hanya 6 kilometer, pilot tak mau ambil risiko terlalu tinggi.

Di beberapa sudut kota, warga tak bisa berbuat banyak. Maklum lahan gambut memang susah dipadamkan apabila terjadi kebakaran. Di wilayah lainnya, orang-orang berbondong-bondong melaksanakan sholat istisqa’ (sholat minta hujan), ya hanya itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan, Allah yang Maha Berkehendak menentukan turun tidaknya hujan. Mungkin Allah memang sengaja menunda turunnya hujan, ini akan menjadi pelajaran yang berarti supaya manusia lebih berhati-hati. Air, udara, tanah, api, semua adalah ciptaan-Nya bukan? Manusia sebagai khalifah, diamanahi untuk menjaga, merawat dan melestarikan, bukan untuk merusak. Ingat itu! Bagaimana bisa kita berteriak payo kito beladas saat masih terkepung asap?

Oke kembali ke cerita perjalananku. Di hari terakhir, sebelum menuju ke Bandara Internasional Sultan Badaruddin II, aku menghabiskan waktu sekedar nongkrong ria di Palembang Icon. Palembang Icon ini adalah mall kebanggaan warga Palembang. Hampir sama dengan mall-mall di kota lainnya, display barang-barang branded ada dimana-mana. Jajanan berharga mahal juga ada. Intinya aku sama sekali tak tergoda. Kuakui untuk bisa hidup di Pulau Sumatera perlu perjuangan yang lebih besar dibanding hidup di Pulau Jawa. Sebagai contoh, di Jogja dengan uang 10.000 anak kos bisa tetap sehat, standar gizi seimbang bisa terpenuhi, bandingkan teman-teman kita yang hidup nge-kos di Medan, Palembang, atau Bandarlampung, wah bisa dapat apa ya kira-kira? Sebuah keberuntungan apabila berkesempatan berkuliah di Pulau Jawa, khususnya Yogyakarta.


Lain lidah, lain rasa. Ya, kuliner Palembang memang enak, tapi dimanapun dan kemanapun aku perlu tentu perlu adaptasi. Terlahir sebagai seorang anak berdarah Jawa asli (blasteran Jogja-Solo pinggiran) membuat lidahku sulit berkompromi dengan makanan-makanan baru, misalnya saat mencicip mie aceh atau roti cane yang dulu sempat aku ceritakan, membuat diriku lebih berhati-hati saat mencicipi sendokan pertama. Hal semacam ini terulang lagi ketika di Palembang, hal ini diperparah saat alergiku muncul ketika mengonsumsi seafood terlalu berlebihan. Ya, tiba di Jogja aku masih merasakan gatal dan pilek yang teramat sangat, bahkan hingga berlangsung hamper 3 minggu. Mau dikata, sekali lagi pelajaran untukku, “berlebihan itu tidak baik”. Kondisi tak kunjung membaik, hingga akhirnya aku memutuskan, 3 hari setelah aku tiba di Jogja aku harus melakukan perjalanan lagi ke Kota Malang.

Minggu, 25 Oktober 2015

Kau Tau

Kau tau, 
akulah yang selalu ingin dimanja olehmu
Kau tau, 
akulah yang selalu membutuhkanmu di setiap waktu
Kau tau, 
akulah yang rindu setelah 5 menit saja tak bertemu
Kau tau, 
akulah yang bersalah saat membuatmu melewati garis batas
Kau tau, 
akulah yang bersedih saat mengetahui dirimu didera masalah
Kau tau, 
akulah yang ingin menjadi pengokoh pundakmu saat diterpa gelombang
Kau tau, 
akulah orang yang ingin selalu  disampingmu menemanimu saat membutuhkan
Kau tau, 
akulah ingin menjadi perempuan kedua di hidupmu


Kau juga tau, 
akulah orang yang tidak tepat bersamamu saat ini
photo : favim.com
(Antara foto - tulingan enggak nyambung sih sebenernya, tapi karena lucu yaudah dipost aja)

Aku Rela

Sesak yang selama ini membuatku bertanya,

Sudah benarkah kita?

Apakah hanya ilusi semata?

Hanya sementara?

Salahkah?

Jika memang harus kutinggalkan,

beri aku kekuatan 
untuk tak mengingatnya lagi di saat sepi

Jika memang harus kutinggalkan,
beri aku keikhlasan 
saat memandangnya dari kejauhan


Aku rela, demi dia
Aku rela, demi kita
photo : imgneed.com

Selasa, 04 Agustus 2015

Tilang

ditulis pada 4 Agustus 2015 16.10 WIB

Sudah menebak topik yang akan aku bahas disini? Betul, berkaitan dengan pak polisi tentunya. Selama satu hari ini aku bertemu dengan beberapa polisi. Pagi hari ketika akan berangkat ke Fakultas Psikologi untuk mengikuti TOT co-fasilitator PPSMB Palapa (istilah yang dipakai UGM untuk ospek mahasiswa baru di tingkat universitas) aku dibantu pak polisi yang bertugas di Jakal (Jalan Kaliurang) untuk menyeberang jalan, sangat bersyukur karena tanpa beliau aku bisa menghabiskan waktu bermenit-menit hanya untuk menyeberang.

photo credit : http//www.metrotvnews.com/