Senin, 13 Januari 2014

Wajarlah….

            Ditemani awan mendung, jam 8:07 pagi. Aku menulis kembali tentang dia. Aku sudah tahu kabarmu disana. Aku juga tahu bahwa tadi malam kamu asik kongkow bersama teman-temanmu, bukan? Ah, senangnya aku, ketika aku tahu bahwa kamu sudah punya banyak teman baru disana. Seperti aku disini yang juga punya teman baru, dan mereka baik-baik.
            Andaikan aku bisa melihatmu secara langsung bersama dengan teman-temanmu, haha rasanya ingin menyewa teropong jarak-jauh milik doraemon. Ah, sudahlah imajinasiku terlalu tinggi. Intinya aku tak ingin berat badanmu turun drastis, aku ingin kamu segera menyelesaikan pendidikan sehingga aku bisa melihatmu sebentar (ini modus).

            Wajarlah…. Berpikir “wajar”, ketika ada hal-hal yang aku rasa kurang nyaman. Berpikir positif untuk kebaikan, dan inilah yang membuatku bertahan hingga kini.

Dibalik Layar : 1

            Akhir-akhir ini saya sedang menjalani Ujian Blok 1.3 dan OSCE, jadi mohon maaf saya jarang posting di blog. Selain kesibukan akademik, kewajiban saya sebagai humas Event of The Year milik AMSA juga belum selesai, ditambah persiapan tryout akbar dari Keluarga Mahasiswa Klaten UGM dan wawancara menteri BEM FK yang belum sempat saya lakukan, karena planning yang seharusnya dilakukan terpaksa diubah karena jadwal kuliah yang tidak pasti dan menumpuk di minggu ke 5 dan 6.
            CCN milik AC AMSA, wah sebetulnya saya pengen. Tapi, apa daya kemampuan saya tidak setara dewa. Lebih baik tidak, daripada keteteran dan malah menyusahkan orang lain, bukan? Hanya ingin eksis? Tapi tidak doing something? Ah, itu pemikiran anak usia pra-sekolah. Kita kan sudah mahasiswa, yuk segera diubah cara pemikiran seperti itu.
            Wajar, ketika kita pengen ini dan itu. Tapi….

Minggu, 05 Januari 2014

Revisi Hidupku

            Aku telah melewati perjalanan hidup di tahun 2013, kini aku memulai memasuki lorong 2014. Alhamdulillah, puji syukur, tahun ini adalah tahun pertamaku menyandang status mahasiswa
            4 Januari, aku resmi menjadi anggota redaksi Medisina, ya Medisina.. seperti nama obat bukan? Karena memang, Medisina adalah majalah milik keluarga besar Fakultas Kedokteran UGM. Awalnnya aku ragu, apakah akan diterima di pilihan pertama. Pilihan pertamaku adalah redaksi dan yang kedua adalah pro-art. Aku tidak pandai menulis, aku juga tidak pandai menyusun kata-kata menjadi rangkaian kalimat yang cantik.
            1 semester lalu, jam 7 pagi di sebuah kawasan wisata Gunung Wisata Nglanggeran, Gunung Kidul menjadi saksi bahwa aku resmi menjadi salah satu anggota keluarga besar AMSA UGM. Aku kira, AMSA hanya sebuah angan bagiku. AMSA adalah organisasi khusus untuk orang-orang keren, pikirku. Pasti sulit bagiku. Bermodal nekat, dan kemampuan basa-basi yang pas-pasan, nyatanya aku bisa menembus gerbang AMSA. Sekarang, AMSA adalah keluargaku di FK UGM, aku rasa inilah keluarga sesungguhnya, ketika aku tidak bisa datang ke acara AMSA, kakak coviceku sangat rajin menghubungi, dan menanyakan kabar ketika aku sakit. Social Environment, adalah divisi pilihan pertamaku. Alhamdulillah, ladang beramal sangat terbuka lebar disini. Mudah-mudahan aku bisa bermanfaat untuk orang banyak, lewat AMSA.
            Badan Eksekutif Mahasiswa. Lagi-lagi, karena namanya yang terdengar sangat mewah di telinga seorang mahasiswa baru, aku tertarik untuk bisa bergabung menjadi salah satu pengurusnya. Rangkaian ujian aku coba untuk kulewati, ini adalah organisasi yang tahap seleksinya paling panjang! Disinilah, jiwa seorang calon tenaga kesehatan diuji. Bagaimana tidak? Sebetulnya tantangan yang diberikan senior BEM tidak sulit, tantangan yang paling sulit adalah diri kami sendiri, ya! diri kami sendiri dengan berbagai sifat buruknya, salah satunya merasa lelah harus menunggu dan menunggu tahap seleksi selanjutnya. Aku merasa bersalah ketika tidak bisa membantu teman-teman yang berusaha keras berjualan makanan tiap pagi guna mengumpulkan dana untuk acara kami. Acara perdana, calon pengurus BEM yang menurutku, mereka, teman-teman BEM sangat keren, rela berjuang mati-matian demi acara ini, demi membantu saudara kami di Desa Sri Martani, Piyungan, Bantul.
         

Sabtu, 04 Januari 2014

8 Bulan (Lalu)

            Berjuang selama 12 tahun untuk mendapatkan predikat “mahasiswa”, waktu yang cukup panjang, dimana ketika TK, SD, SMP dan SMA statusku tidak kunjung berubah yakni sebagai “siswa”. Membanggakan memang.
            Tapi, 8 bulan setelah aku resmi kehilangan statusku sebagai siswa, ternyata hal lain yang kurasa hilang. Kehilangan seseorang. Ya, seseorang yang selalu bisa kulihat dari balik jendela kaca ruang kelasku ketika SMA. Sesosok lelaki yang bila dihitung-hitung, sudah 5 tahun kami kenal tapi tidak cukup dekat. Laki-laki itu, yang hingga saat ini belum bisa aku lupakan. Wajahnya, senyumnya, tawanya yang entah mengapa selalu muncul tiba-tiba di otakku walaupun kemunculannya ku akui semakin blur, tidak jelas.
            Bila seperti itu, terkadang aku sering khilaf. Membuka album foto 3x4 yang aku dapat dari guru SMA, yang sebetulnya foto itu digunakan untuk foto ijazah. Hanya itu satu-satunya cara, agar aku bisa mengingat dirinya. Maklumlah, semenjak wisuda kelulusan SMA 8 bulan lalu, kami belum pernah sekalipun bertemu, bahkan menanyakan kabar pun tak pernah. Aku terlalu malu, gadis 18 tahun sepertiku, kurasa sudah terlalu (tidak) imut (baca: tua) untuk memulai menyapa laki-laki lebih dulu. Berbeda ketika aku masih berusia 14 atau 15 tahun, penampilan cuek, gaya tomboy sudah biasa. Tapi sekarang? Aku harus sadar diri, usiaku sudah menuju dewasa, yang mungkin 7 tahun lagi aku akan menjadi ibu untuk anak-anakku.
            Ketika kutulis ini, ku akui. Aku rindu dengannya, apalagi saat pra-ujian Blok, dan OSCE seperti ini, beban pikiran yang aku rasa seakan-akan membuat rasa rinduku kian menjadi. Aku tidak berani bertanya “Kapan kamu pulang?” atau “Kapan kita bertemu?” karena aku bukan siapa-siapamu, bukan hak ku.
            Entahlah, perasaan apa yang sedang hinggap dihatiku. Bisa jadi, rasa itu hanya transit sebentar kan?! Tapi sudah transit selama 5 tahun? Ah, dasar gadis labil. Tahukah? Tuhan sangat mengerti diriku,  Ia senantiasa mengirimkan tetesan hujan yang berisi doa dariku, kepadanya.