Berjuang selama 12 tahun untuk
mendapatkan predikat “mahasiswa”, waktu yang cukup panjang, dimana ketika TK,
SD, SMP dan SMA statusku tidak kunjung berubah yakni sebagai “siswa”.
Membanggakan memang.
Tapi, 8 bulan setelah aku resmi
kehilangan statusku sebagai siswa, ternyata hal lain yang kurasa hilang.
Kehilangan seseorang. Ya, seseorang yang selalu bisa kulihat dari balik jendela
kaca ruang kelasku ketika SMA. Sesosok lelaki yang bila dihitung-hitung, sudah
5 tahun kami kenal tapi tidak cukup dekat. Laki-laki itu, yang hingga saat ini
belum bisa aku lupakan. Wajahnya, senyumnya, tawanya yang entah mengapa selalu
muncul tiba-tiba di otakku walaupun kemunculannya ku akui semakin blur, tidak
jelas.
Bila seperti itu, terkadang aku
sering khilaf. Membuka album foto 3x4 yang aku dapat dari guru SMA, yang
sebetulnya foto itu digunakan untuk foto ijazah. Hanya itu satu-satunya cara,
agar aku bisa mengingat dirinya. Maklumlah, semenjak wisuda kelulusan SMA 8
bulan lalu, kami belum pernah sekalipun bertemu, bahkan menanyakan kabar pun
tak pernah. Aku terlalu malu, gadis 18 tahun sepertiku, kurasa sudah terlalu
(tidak) imut (baca: tua) untuk memulai menyapa laki-laki lebih dulu. Berbeda
ketika aku masih berusia 14 atau 15 tahun, penampilan cuek, gaya tomboy sudah
biasa. Tapi sekarang? Aku harus sadar diri, usiaku sudah menuju dewasa, yang
mungkin 7 tahun lagi aku akan menjadi ibu untuk anak-anakku.
Ketika kutulis ini, ku akui. Aku
rindu dengannya, apalagi saat pra-ujian Blok, dan OSCE seperti ini, beban
pikiran yang aku rasa seakan-akan membuat rasa rinduku kian menjadi. Aku tidak
berani bertanya “Kapan kamu pulang?” atau “Kapan kita bertemu?” karena aku
bukan siapa-siapamu, bukan hak ku.
Entahlah, perasaan apa yang sedang
hinggap dihatiku. Bisa jadi, rasa itu hanya transit sebentar kan?! Tapi sudah
transit selama 5 tahun? Ah, dasar gadis labil. Tahukah? Tuhan sangat mengerti
diriku, Ia senantiasa mengirimkan tetesan
hujan yang berisi doa dariku, kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar