Masih
teringat betul kata ayah ketika aku memilih Yogyakarta sebagai kota tempat aku
belajar kelak, “ Jogja itu enak, orangnya ramah-ramah.” Aku pikir sama saja,
antara orang Jogja maupun orang Klaten, aku kira ayah berkata seperti itu
karena beliau juga orang asli original dari Jogja, ya pantaslah kalau beliau
agak narsis.
1 semester
berlalu…
Betul kata
ayah, atmosfer Kota Yogyakarta yang ramah dan istimewa benar-benar bisa aku
rasakan. Orang Jogja itu unik, selain ramah mereka juga suka menghabiskan
ke-selo-an waktunya untuk membaca, M-E-M-B-A-C-A! Ajaib, orang-orang sepuh,
bapak-bapak, ibu-ibu, mulai dari penjual gudeng di dekat kosan, penjual Aqua,
pak tukang becak, pak tukang ojek, ibu penjual bakso ojek, sampai pak penjual
mie ayam hobi membaca, yang paling sering aku lihat beliau-beliau ini setiap
pagi mengganyang berita di Koran.
Tidak sampai
disitu, bagi yang ngekos di wilayah kampung Sendowo pasti sudah tidak asing
lagi dengan penjual mie ayam legendaris ini, Pak Wiyono. Legendaris? Iya,
warung mie ayam ini sudah ada sejak era 80-an, kata mbak-mbak tetangga kamar
kosku yang sekarang melanjutkan studi S2 di UGM, “Mie ayam itu sudah ada sejak
jaman saya kuliah S1 dulu lhoo dek.” Oh, tidak heran setiap hari pasti ada
pembeli yang antre kemruyuk untuk memesan mie ayam, entah 1 bungkus, entah 5
bungkus. Mayoritas pembeli mie ayam Pak Wiyono ini bergender laki-laki a.k.a
mas-mas yang dari tampilannya aku bisa menebak kalau mereka adalah mahasiswa
teknik. Porsi 1 mangkuk mie yang sampai tumpah-tumpah, mie yang berbentuk bulat
tapi gendut ditambah sambal yang ekstra pedas, plus (yang paling penting) harga
yang murah menghipnotis kami, para mahasiswa yang berkantong pas-pasan.
Nyam-nyam….
Yang istimewa
dari sosok Pak Wiyono ini, selain mie ayam racikannya nikmat bin lezat beliau
juga orang yang super ramah, bisa dibilang beliau ini yang cocok jadi ikonnya
kota Jogja. Sering ketika aku lewat di depan warung ketika beliau sibuk
mengangkat sayur sawi ijo, saat aku menyapa beliau “Sugeng enjang, pak!” beliau
masih menyempatkan menjawab dengan tersenyum, “Enggih, sugeng enjang mbak,
mangga-mangga!” Begitu pula ketika aku pulang kuliah di sore harinya, senyum
selalu ada di wajahnya.
Padahal usia
beliau sudah tidak muda, apabila aku taksir mungkin usia beliau sudah menginjak
angka 70-an, satu angkatan dengan eyangku. Tapi, semangatnya seperti masih
berusia 20 tahun. Itulah mengapa aku sangat menghormati beliau, betapa bangga
cucu-cucunya ketika memiliki sosok kakek sehebat beliau, yang baik hati, ramah,
dan pekerja keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar