Minggu, 16 Maret 2014

Pak Wiyono : Bakul Mie Ayam Penyelamat Perut Anak Kos

Masih teringat betul kata ayah ketika aku memilih Yogyakarta sebagai kota tempat aku belajar kelak, “ Jogja itu enak, orangnya ramah-ramah.” Aku pikir sama saja, antara orang Jogja maupun orang Klaten, aku kira ayah berkata seperti itu karena beliau juga orang asli original dari Jogja, ya pantaslah kalau beliau agak narsis.

1 semester berlalu…

Betul kata ayah, atmosfer Kota Yogyakarta yang ramah dan istimewa benar-benar bisa aku rasakan. Orang Jogja itu unik, selain ramah mereka juga suka menghabiskan ke-selo-an waktunya untuk membaca, M-E-M-B-A-C-A! Ajaib, orang-orang sepuh, bapak-bapak, ibu-ibu, mulai dari penjual gudeng di dekat kosan, penjual Aqua, pak tukang becak, pak tukang ojek, ibu penjual bakso ojek, sampai pak penjual mie ayam hobi membaca, yang paling sering aku lihat beliau-beliau ini setiap pagi mengganyang berita di Koran.


Tidak sampai disitu, bagi yang ngekos di wilayah kampung Sendowo pasti sudah tidak asing lagi dengan penjual mie ayam legendaris ini, Pak Wiyono. Legendaris? Iya, warung mie ayam ini sudah ada sejak era 80-an, kata mbak-mbak tetangga kamar kosku yang sekarang melanjutkan studi S2 di UGM, “Mie ayam itu sudah ada sejak jaman saya kuliah S1 dulu lhoo dek.” Oh, tidak heran setiap hari pasti ada pembeli yang antre kemruyuk untuk memesan mie ayam, entah 1 bungkus, entah 5 bungkus. Mayoritas pembeli mie ayam Pak Wiyono ini bergender laki-laki a.k.a mas-mas yang dari tampilannya aku bisa menebak kalau mereka adalah mahasiswa teknik. Porsi 1 mangkuk mie yang sampai tumpah-tumpah, mie yang berbentuk bulat tapi gendut ditambah sambal yang ekstra pedas, plus (yang paling penting) harga yang murah menghipnotis kami, para mahasiswa yang berkantong pas-pasan. Nyam-nyam….

Yang istimewa dari sosok Pak Wiyono ini, selain mie ayam racikannya nikmat bin lezat beliau juga orang yang super ramah, bisa dibilang beliau ini yang cocok jadi ikonnya kota Jogja. Sering ketika aku lewat di depan warung ketika beliau sibuk mengangkat sayur sawi ijo, saat aku menyapa beliau “Sugeng enjang, pak!” beliau masih menyempatkan menjawab dengan tersenyum, “Enggih, sugeng enjang mbak, mangga-mangga!” Begitu pula ketika aku pulang kuliah di sore harinya, senyum selalu ada di wajahnya.


Padahal usia beliau sudah tidak muda, apabila aku taksir mungkin usia beliau sudah menginjak angka 70-an, satu angkatan dengan eyangku. Tapi, semangatnya seperti masih berusia 20 tahun. Itulah mengapa aku sangat menghormati beliau, betapa bangga cucu-cucunya ketika memiliki sosok kakek sehebat beliau, yang baik hati, ramah, dan pekerja keras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar