Mobil membawa kami menuju Balai Keratun, sebuah Gedung yang
berada di kompleks kantor pemerintah Provinsi Lampung tempat welcoming party
diadakan. Tak banyak piker, dengan cueknya aku mengikuti rangkaian acara tanpa
berganti baju lebih dahulu, waktu itu aku mengenakan kaos biru, dengan bawahan
celana jeans, menakjubkan bukan? Bagi kalangan mahasiswa yang belajar di
Fakultas Kedokteran/Kesehatan akan terlihat sangat aneh ketika mengenakan jeans
di acara formal.
Rangkaian acara terlewati, ada sambutan dari ketua panitia, ketua BEM, pihak dekanat hingga perwakilan dari pemerintah Provinsi Lampung. Oh iya, ada salam khas dari Lampung yang kalau tidak salah berbunyi “Tabikpuun” (atau apalah, mohon maaf bila ada salah penulisan) mungkin artinya semacan “nuwun sewu” bila di masyarakat Jawa.
Jarak dari Bandara Radin Saleh II menuju Balai Keratun
menurutku cukup jauh, hamper 2 jam lamanya. Di sepanjang jalan, tidak banyak
berbeda ketika dibandingkan Jalur Pantura ataupun Jalan Raya Jogja-Solo,
sama-sama lebar, sama-sama berpapasan dengan truk-truk besar. Setelah mengikuti
welpar, delegasi diantar menuju Hotel Arinas, jaraknya tidak terlalu jauh hanya
saja di Kota Bandarlampung sebagian jalan rayanya hanya satu arah sehingga
harus memutar-mutar padahal jalannya cukup lebar lhoo, dan jarang macet.
Teman satu kamarku bernama Christiana Hertiningdyah Sulistiani,
panggilan akrabnya Diah delegasi dari Universitas Udayana, Bali. Dia seorang
muslim dan berjilbab, sama seperti aku. Hal yang pertama kami lakukan ketika
bertemu teman baru, berbasa-basi hingga kantuk menyerang. Di belakang Hotel
Arinas, ternyata ada jalur kereta batu bara yang terlihat jelas dari kamarku,
beberapa kali aku mendengar suara peluit kereta api, istimewanya gerbong kereta
ini bisa sampai 50-an. Kereta berjalan lambat, satu kali lewat mungkin bisa
memakan 30 menit. Menakjubkan.
Hal lain yang belum bisa kulupakan saat menjelang subuh,
sekitar jam 3 dini hari dari toa masjid sekitar ada orang yang membangunkan,
perhatian sekali bukan? Suaranya cukup keras dan bernada agak galak bila
dibandingkan cara membangunkan orang di Klaten maupun di Jogja.
Kampus Unila terletak di pinggiran Kota Bandarlampung,
perjalanan kami tempuh 30 menit dari hotel. Fakultas Kedokteran-nya terletak di
pojokan kampus, dekat dengan Fakultas Pertanian. Sesi presentasi dimulai. Rasa
deg-degan muncul saat akan memulai presentasi adalah wajar, ini kali kesekian
kalinya aku merasa gugup. Aku merasa tidak terlalu sukses dalam menjawab
pertanyaan juri mengenai jenis profilaksis apa saja yang digunakan untuk
mencegah penularan Malaria dan mekanismenya. Ya, juri poster public kali ini
sangat greget, berbeda dari kompetisi sebelum-sebelumnya yang sangat manis dan
baik hati.
Setelah itu ada talkshow bersama ODHA dan finalis 5 besar
Putri Indonesia 2014 (lupa namanya) yang merupakan mahasiswa profesi FK Unila.
Nah, di sesi ini aku kembali menguras air mataku. Melihat perjuangan ibu-ibu ODHA
melawan virus yang terus menggerogoti tubuhnya, ada yang tertular dari
pasangannya (pasangannya sudah meninggal), ada yang tertular karena menggunakan
jarum suntik untuk mengonsumsi narkoba. Miris.
Sebelum kembali ke Hotel, kami mampir ke pusat oleh-oleh
Lampung, Ling-Ling namanya (kalau tidak salah). Apakah yang khas dari Lampung?
Kopi Lampung, Keripik pisang beraneka rasa (ada rasa coklat, strawberry,
vanilla, manis), lempuk durian, sambal lampung yang pedas (apalah namanya aku
lupa), sanjai (keripik ketela pedas), dan banyaak lagii. Naluri keibuanku
mengatakan sebetulnya aku ingin beli semua, apa daya kemampuan finansial cukup
terbatas.
Ketika makan malam pun, hidangannya kuakui sangat menggoda,
pindang patin. Ini pernah diceritakan temanku beberapa waktu lalu, namun aku
gagal membayangkan karena aku tak tahu sama sekali bagaimana bentuk si patin.
Akhirnya, kali ini mimpiku jadi kenyataan. Menyantap pindang patin, di tanah
Sumatera.
![]() |
Pindang patin |
Di kompetisi Mesenterica kali ini aku tidak bisa membawa
piala kemenangan, karena “sometimes you
win, sometimes you learn” betul kan? Sebagai ajang refleksi diri, bahwa
diatas langit masih ada langit.
Keesokan harinya, di hari terakhirku di Lampung. Delegasi
diajak mengikuti city tour ke pantai Sari Ringgu, Lampung Selatan (maaf bila salah
alamat, mohon dibetulkan). Cukup jauh dari pusat kota Bandarlampung, hamper 2
jam perjalanan menggunakan bus kampus Unila. Disepanjang perjalanan ini aku
melihat kesenjangan social, dari Ibukota Provinsi yang gemerlap hingga ke
wilayah yang jauh dari keramaian, Lampung Selatan. Memasuki kawasan Lampung
Selatan secara perlahan, jalanan yang mulus sulit ditemui, bus kami melewati
jalanan kecil yang berlubang sana-sini. Ini membahayakan pengguna jalan, ketika
hujan air menggenang, licin, daerahnya pegunungan dan berbukit-bukit, rawan
kecelakaan.
Sebagai mahasiswa kesehatan, aku secara tak sadar mengamati
berapa banyak-kah tenaga kesehatan yang membuka praktik di wilayah ini dengan
melihat papan nama dokter, bidan, ataupun perawat. Tidak obyektif sih, tapi
bisa sedikit memberi petunjuk kan? Bisa kuhitung dengan jari, dari perjalanan
yang sangat panjang hanya ada 7 tenaga kesehatan, 1 dokter, 3 perawat, 3 bidan.
Padahal wilayahnya kurasa cukup luas dan medannya cukup terjal. Papan nama
perawat yang membuka praktik di wilayah itu juga masih bergelar Ahli Madya.
Para mahasiswa kesehatan, teman sejawatku maukah kamu mengabdikan diri beberapa minggu saja di tempat seperti
ini? Aku yakin, mereka membutuhkan orang-orang seperti kita.
Adik-adikku yang baru saja menamatkan pendidikan di bangku
SMA, yang ingin menjadi mahasiswa kesehatan, yang bercita-cita menjadi dokter,
perawat, bidan, dsb apakah kalian sudah benar-benar yakin memilih jalan ini?
Ini menjadi cambuk bagiku bahwa apa yang aku pilih 2 tahun
lalu melalui SNMPTN bukanlah main-main, belajar untuk menjadi perawat yang
berilmu, beretika, dan terampil, tidak seperti yang pernah kutemui ketika
melakukan control di salah satu RS negeri di Klaten, perawatnya galak dan
judes. Ah, aku trauma dengan rumah sakit itu.
Kembali ke cerita…
Setelah mendaki gunung lewati lembah, bus kami tiba di
Pantai Sari Ringgu dengan selamat. Langit sangat cerah kala itu, tongsis
dikeluarkan. Masyaallah cantiknya. Tak lupa, sunscreen SPF 30 dipakai agar
kulit tidak terbakar, biasalah perempuan sis. Aku dilanda gundah gulana, aku
ingin ikut snorkeling, disisi lain tas troliku sudah menginjak 9 kilo saat
berangkat, apa jadinya jika aku harus berbasah-basah? Membawa baju basah hingga
ke Jogja sangat tidak mungkin. Bisa-bisa tasku malah disita bea cukai. Tidak-tidak.
Niat untuk snorkling kuurungkan, “besok saja, semoga bisa ke Lampung lagi”
caraku menghibur diriku sendiri. Walau tidak bisa nyebur langsung ke laut, tapi
airnya yang jernih memungkinkan untuk melihat pemandangan bawah lauh secara
langsung, mata telanjang. Indah sekali. Ada ikan badut berwarna orange “Nemo”,
yang membuat kami heboh, ada juga bintang laut yang terlihat pasrah ketika kami
ambil dari dalam air. Lucu, dan terlihat imut.
Selesai snorking, delegasi melakukan makan siang di sebuah
gazebo besar dipinggir pantai, tiba-tiba lagit menjadi gelap tak karuan, hujan
deras pukul 14.00. Padahal delegasi harus segera menuju Bandara untuk kembali
ke kotanya masing-masing. Pesawatku take off jam 16.00 lebih sedikit, satu
kabin dengan Mbak Putri (Undip) dan teman-teman dari Unair, diantara kami, mbak
Putri inilah yang paling kebingungan takut bila ketinggalan pesawat.
Dengan penuh rasa syukur, kami tidak ketinggalan pesawat,
karena pesawat mengalami keterlambatan. Cuaca kala itu memang tak menentu,
siang cerah, sore hingga malam hujan badai. Sriwijaya Air TKG-CGK
diberangkatkan, aku harus mengejar maskapai lain yang menuju Yogyakarta. Sekali
lagi lagi, aku mendapat ujian, aku tertinggal pesawat lagi. Padahal ini adalah
pesawat terakhir yang menuju Yogyakarta, ingin membeli Garuda Indonesia? Baah,
aku bukan anak pejabat, harus pintar mengatur uang. Akhirnya, kuputuskan untuk
menginap satu malam saja di Bandara megah ini, Soekarno-Hatta. Aku tahu, ibuku
yang berada di Klaten sana pasti khawatir ketika aku mengabarinya lewat
telepon, “tenang saja bu, bandara tempat yang aman, pemeriksaannya berlapis dan
ketat”. Kedua orangtuaku, terkadang belum menyadari bahwa anaknya yang dulu
masih digendong saat ini sudah berusia 20 tahun.
Aku betah berlama-lama duduk sambil menonton channel
National Geographic Animal Planet disini, karena memang sangat nyaman walaupun
hanya makan satu cup mie instan goreng yang kubeli di Circle-K. Sambil menonton
Animal Planet yang tak ku ketahui isinya, aku ingin bilang terimakasih banyak
untuk kamu yang sudah menemani via suara (halah) selama kurang lebih hamper 3
jam, hingga kupingku terasa panas. Maaf telah merepotkan.
Sekitar jam 4 pagi, aku bangun dan segera melakukan
check-in. Itu artinya aku harus turun ke lantai 1 dengan membawa tas troliku
yang semakin terlihat gemuk. Berat beb. Setelah check-in, aku harus kembali
lagi ke lantai 2 melewati berisan kursi tempat aku tidur semalam menuju ruang
tunggu. Sambil menunggu adzan subuh, aku berjalan kesana-kemari. Bingung karena
tidak ada kegiatan. Setelah melaksanakan sholat, aku kembali di ruang tunggu,
nah disini lah aku melihat Nadine Chandrawinata dan Mike Lewis (mantan suami Tamara
Blezinski) berlarian menuju gate Lion Air tujuan Lombok, hmm rupanya mereka
akan pelesir.
Aku memasuki gate yang sama dengan kedua artis tadi, Lion
Air. Aku pikir artis hanya bisa duduk di dalam kabin pesawat Garuda Indonesia,
ternyata tidak. Di sini (lagi) aku dipertemukan dengan rombongan turis
berbahasa aneh, di telingaku terdengar seperti bahasa yang ada di fil ATM
Error, Suckseed, Seven Things, atau Pee Mak, yaa bahasa Thailand. Yang aku
lihat ada sekitar 50-an orang lebih berbahasa aneh yang akan satu pesawat
denganku, alamaak. Sekilas orangnya cantik-cantik, beralis tebal menggunakan
pensil alis, berpipi merah karena blush on warna merah muda, yang laki-laki
juga termasuk kategori rupawan, mirip seperti di film Thailand. Tapi, rombongan
ini terbilang cukup berisik, entah yang mereka bicarakan, kami penumpang lain hanya
saling melirik, mungkin dalam hati, kami para penumpang pribumi sama-sama
berkata “woy, berisik banget, ini orang dari planet mana.”
Saat memasuki kabin pun, kehebohan semakin menjadi, mencari
kursi saja sangat heboh, ckckck yang kulihat pramugari kala itu sangat sabar
menjawab dan mengarahkan penumpang unik ini menuju ke kursinya masing-masing,
penumpang unik ini pun juga sulit dalam menggunakan Bahasa Inggris, persis
seperti aku. Ketika pesawat siap berangkat, ada ada saja ide unik dari mereka
yang membuat penumpang pribumi geleng-geleng, ada satu penumpang unik, seorang
wanita yang berdiri dari kursinya, melepas sabuk pengaman dan berfoto selfie di
koridor kabin, astaghfirullah. Dari pengalaman sebelumnya naik pesawat, ketika
lepas landas, suasana pesawat hening, karena mayoritas penumpang Indonesia (domestic)
biasanya berdoa, kali ini tidak. Suasana masih seperti pasar malam diskon 90%,
ramai tak karuan, aku syok. Khawatir dengan tingkah laku penumpang unik diatas.
Kala itu aku hanya berdoa, semoga aku bisa sampai Jogja dengan selamat.
Alhamdulillah, Hari Senin sekitar jam 7 pagi aku
menginjakkan kaki di Yogyakarta. Perjalanan kali ini sangat berkesan, sebagai
sarana pendewasaan, berpikir strategis, sekaligus mensyukuri nikmat yang telah
Allah berikan. Ada banyak kejadian unik yang kutemui, mulai dari ketinggalan
pesawat saat pergi dan pulang, bertemu dengan penumpang unik, melihat eloknya
pegunungan dan pantai di Lampung, dan masih banyak lagi, yang tidak ada
habisnya bila kuceritakan.
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar