Aku
berfikir, cerita ini harus kuceritakan
ke banyak orang. Petualangan mandiriku, sendiri, tanpa kawan, tanpa pasangan,
dengan kata lain aku seorang jomblo. Ini dimulai ketika kamis malam, sms
singkat datang dari panitia sebuah acara kompetisi di Denpasar Bali, dimana aku
menjadi peserta yang lolos. Aku buru-buru kalap dan mengecek situs penjualan
tiket pesawat online, klik, klik, klik dan… tinggal transfer.
Di
depan pintu ATM, aku masukkan kartu dan transfer, namun sayangnya transaksigagal.
Kuputuskan untuk berpindah ke mesin tetangga, ternyata masih gagal, kucoba
memakai kartu ATM lain ternyata nihil. Akhirnya, kuputuskan untuk membeli
langsung ke kantor, keesokan harinya.
Sabtu,
1 november 2014
Satu
tas sekolah (backpack) siap kubawa menuju denpasar. Perjalanan ku mulai dengan
jalan kaki menuju Kopma UGM dan foodcourt UGM untuk sekedar membeli camilan
selama perjalanan. Tepat jam 3 sore, aku berada di dalam bus Transjogja jalur
3B yang menuju kea rah Adisutjipto International Airport. Istimewanya, hari ini
aku tidak merasakan macet, hanya satu jam kurang aku sudah berada di kawasan
bandara, Maguwoharjo. Dengan enteng aku memasuki lorong dan akhirnya sampai
diruang tunggu, masih 2 jam lagi untuk check-in, terlalu dini.. ya, aku takut
tertinggal pesawat. Daripada merugi, lebih baik menunggu, pikirku. Tik tok tik
tok tik tok, bandara di kota istimewa ini memang lebih kecil dibanding 3
bandara megah yang pernah kukunjungi, Kuala Namu, Hang Nadim atau Ngurah Rai.
Aku berusaha mengusir rasa bosanku dengan berjalan kesana kemari, melihat
suasana sekitar, atau sekedar mencium aroma Roti O yang sedapnya tak terkira
itu. Niat untuk membeli makanan ini itu harus kuat aku urungkan, aku tahu ini
bukan saat yang tepat untuk berwisata kuliner di dalam airport. Waktu ashar
telah lewat, tiba saat adzan maghrib, akhirnya waktuku untuk check-in. akan
lega rasanya ketika tas sekolahku sudah masuk bagasi, kini aku bebas melenggang
menuju ruang tunggu dan bisa melaksanakan sholat maghrib. Di ruang tunggu ini
aku juga harus melawan rasa bosan, disamping itu aku harus focus ketika ada
panggilan untuk boarding, kebiasaan buruk, aku selalu telat info ketika
boarding, untung saja tidak sampai
tertinggal, huft.
20.00
WIB lebih sedikit, pesawat yang aku tumpangi meninggalkan kota pelajar, hendak
menuju pulau dewata. Suasana malam, yang remang-remang, seolah menyambut
petualanganku dengan hangat dan romantic, ya aku tahu aku memang sendirian di
situ… dia tahu akan hal itu, malam dan sinar lampu kota yang berpendar sengaja
datang agar aku tidak merasa sendirian (baca : jomblo). Rupanya, aku tertidur
pulas, dan terbangun ketika tepat berada di atas Selat Bali, beberapa menit
lagi aku mendarat. Syukur, Alhamdulillah dengan selamat aku bisa menginjakkan
kaki di Pulau Bali. Kulirik jam tanganku, rupanya jam kesayanganku juga ikut
jet-lag, ia menunjukkan pukul 23 lebih. Sudah larut, aku buru-buru mengambil
tas dan mencari taksi menuju hotel yang sudah kupesan. Sejujurnya, aku kaget
ketika tariff taksi bandara yang paling murah saat itu dipatok 110 ribu, ya tak
ada pilihan lain kan? Aku menyetujui… dan sampailah di hotel, bapak sopir taksi
dengan ramah mengucap selamat malam, dan terimakasih.
Kegiatanku
di Bali selayaknya seperti ajang kompetisi lainnya, bertemu teman baru, panitia
baru, suku baru, bahasa baru, semuanya indah.. semakin membuatku bersyukur
bahwa aku lahir sebagai orang berkebangsaan Indonesia. Agaknya tidak berlebihan
bila ketika kulihat merah-putih berkibar ada air mata yang tidak sengaja
menetes.
2
November 2014
Ini
saat yang ditunggu, pengumuman juara. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah
yang selalu mempermudah jalan.. aku berhasil memboyong juara 2 untuk kategori
poster edukasi popular, alamamater Gadjah Mada berhak bersanding bersama kawan
lain. Selanjutnya, hari kedua kuhabiskan waktu dengan kakak senior angkatanku
yang datang ke Denpasar lebih awal untuk sekedar mengenal Kota Denpasar lebih
dekat, memasuki mall-mall dengan harga selangit (baca : windows shopping)
3
november 2014
Rombongan
Gadjah Mada dan Tanjungpura menuju Ngurah Rai International Airport, padahal
waktu masih menunjukkan jam 4 pagi, lagi-lagi karena alasan takut macet kami
harus bangun pagi, tanpa mandi, hanya sikat gigi. Skitar pukul 6 rombongan
kakak tingkatku sudah terbang menuju Yogyakarta, aku? Aku masih santai ngobrol
kesana-kemari dengan peserta dari Pontianak (lupa namanya) mereka take of jam 8
pagi, sedangkan aku jam 10 pagi.
Sudah
jam 8 lebih, aku duduk di depan loket check-in bersama dengan ibu-ibu yang
sejak tadi subuh sudah aku lihat, beliau tak kunjung berpindah dari kursi.
Rupanya ibu ini cukup ramah, beliau dulu yang menyapa, aku lupa tidak bertanya
siapa namanya. Ibu X ini hendak pergi ke Balikpapan, penerbangannya masih jam 1
siang. Dengan alasan ingin menemani ibu X, aku memulai pembicaraan (latihan
untuk CFHC sebelum pendekatan ke keluarga) ibu X tipe ekstrovert, beliau
menyenangkan, salah satu koki restoran di kawasan Jimbaran. Yang menarik,
beliau bercerita masalah kesehatan yang pernah dialami. Obesitas menjadi musuhnya,
dan hingga saat ini ia mesih menjalani program diet, dalam 1 bulan beliau
berhasil menurunkan 20 kg, dokter pun juga heran. Sejak 1 tahun lalu, beliau
memutuskan untuk tidak makan nasi, gorengan, cake, dan yang enak-enak lain.
Sayur, buah, air putih adalah teman setia setiap saat, ketika kutawari biscuit
coklat kesukaannya, beliau menjawab “terimaksih dek”. Pesan sederhana dari ibu
X ini “Sehat itu mahal, masih muda dijaga ya”.
Monitor
yang tergantung di langit-langit menunjukkan jam 8.30 aku cepat-cepat check-in,
dan dengan agak sedih berpamitan, meninggalkan ibu X seorang diri. Selanjutnya
menuju lantai 2, melewati airport tax yang berbiaya mahal, 75 ribu rupiah.
Sangat jauh bila dibanding di jogja yang hanya 35 ribu, di Medan hanya 20 ribu,
agaknya biaya hidup di Bali memang lebih mahal.
Setelah
sukses melalui pemeriksaan keamanan, dan petugas bea cukai (sperti melihat
teman-teman SMAku) aku langsung berjalan melewati lorong stand makanan, baju,
barang antik hingga air mineral aqua yang berharga 16 ribu rupiah, hamper 8
kali lebih mahal dari biasanya, seingatku harga aqua di kopma UGM hanya 1.700
rupiah.
Aku
berangkat dari terminal 4, namun karena penuh aku mencoba kursi kosong yang
enak untuk bersandar dan nyaman untuk melihat pemandangan. Kursiku tidak begitu
luas, namun masih kosong, sukup untuk diduduki 2 orang lagi. Di kursi kayu
panjang ini, aku tak sadar melamun tersihir menikmati indahnya pemandangan di
kawasan Ngurah Rai, atau sekedar melihat pesawat yang take-off, landing,
take-off, landing begitu seterusnya.
Lamunanku buyar ketika kuketahui di sisi kananku sudah ada seorang ibu paruh baya dan suaminya (kalau kutebak), serta seorang laki-laki muda yang berdiri di belakang kursi, yang kutahu laki-laki muda dan rupawan itu adalah putra dari ibu yang duduk tepat di sampingku.
Lamunanku buyar ketika kuketahui di sisi kananku sudah ada seorang ibu paruh baya dan suaminya (kalau kutebak), serta seorang laki-laki muda yang berdiri di belakang kursi, yang kutahu laki-laki muda dan rupawan itu adalah putra dari ibu yang duduk tepat di sampingku.
Ibu
paruh baya ini tak kalah ramah, beliau memulai perbincangan diantara kami.
Sepertinya aku sangat tertarik,aku berusaha membaca gesture ibu ini, aku rasa
ibu ini pun juga merasa nyaman bercerita denganku. Ibu paruh baya ini hendak
menuju ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk mencari kesembuhan. Aku terhenyak tatkala ibu ini bercerita
mengenai masalah kesehatan yang ia derita, kanker usus. Ya…kanker bukanlah
penyakit sepele layaknya panuan atau kudis, kanker adalah salah satu pembunuh.
Hanya orang-orang terpilih saja yang mampu bertahan, ibu ini salah
satunya…lebih dari 5 kali beliau menjalani operasi dan kemoterapi, semangat
untuk sembuh sangatlah tinggi. Usia ibu ini tidak lagi muda, tapi usahanya
kuakui sangat luar biasa. Beruntungnya, putra bungsu ibu ini, yang sedang
berdiri dibelakang kursi kami, selalu mendukung kesembuhan ibundanya, ia
mencari berbagai cara guna menyembuhkan ibu yang sangat ia cintai. Ah…putra ibu
paruh baya itu, aku pikir orang-orang
seperti itulah yang aku cari kelak, yang cocok menjadi ayah bagi
anak-anakku nanti. Hampir saja air mataku menetes, beruntungnya ibu baruh baya beserta sang suami dan
putranya yang rupawan itu pergi karena boarding citilink untuk penerbangan ke
Jakarta sudah dibuka. Paling tidak, sekarang aku tidak malu bila air mataku
tidak sadar menetes.
Kini,
aku sendiri lagi…kutarik nafas pelan-pelan. Tampaknya aku mulai bosan berada di
dalam ruang tunggu nan megah ini, satu tempat yang perlu aku tuju untuk mengusir rasa bosanku
adalah toilet, ya…bagiku, toilet di bandara adalah tempat special, desain
interior di dalam toilet membuatku tertarik untuk sekedar menengoknya, dan
tahukah… di setiap toilet bandara di masing-masing daerah memiliki aroma parfum
yang berbeda-beda, itu yang membuatku kangen apabila perjalanan jauhku harus
singgah di Bandar udara.
Sepertinya,
aroma kopi yang ada di toilet sedikit menghilangkan rasa bosanku. Masih dengan
dalih menghilangkan rasa bosan, aku berpindah tempat menunggu waktu boarding di
terminal 3, terminal ini berhadapan langsung dengan lautan, selat bali lebih
tepatnya. Wah, indahnya…ini kali pertamanya aku singgah di bandara yang
landasan terbangnya berada diatas laut.
Jam
10.00 WIB
Aku
tengok kesana-kemari, agak gundah…seharusnya boarding sudah dibuka, kenapa
masih adem ayem saja? Merasa ada yang aneh, aku coba mendekati petugas Lion-air
yang berjaga di terminal 4. Ternyata ada delay, sudah kuduga. Pesawat masih
dalam perbaikan, mendengar kalimat itu seketika aku menjadi khawatir, khawatir
kalau kalau….ah, sudahlah. Naudzubillah, pikiran buruk segera aku hilangkan.
Aku memilih duduk di lantai, dekat dengan lorong terminal 4 dengan harapan apabila ada pengumuman aku bisa mendengarnya lebih jelas, tapi sejujurnya hati masih merasa was-was dengan pernyataan yang diungkapkan petugas tadi. 5 menit, 7 menit, 10 menit berlalu….ada mbak-mbak (kakak perempuan) yang mendekatiku, ia bertanya persis seperti pertanyaanku tadi “kenapa belum dibuka ya mbak?” aku jelaskan secara perlahan. Rupanya, mbak-mbak ini sengaja bertanya padaku karena mengetahui bahwa aku akan menuju ke Jogja, darimana? Rupanya di lengan kananku ada logo universitas tempatku belajar, Gadjah Mada. Tanpa mengetahui namanya, ternyata mbak-mbak itu berasal dari Boyolali, ia datang ke Bali untuk melamar menjadi PNS, dan akan kembali lagi Desember kelak untuk menjalani ujian tertulis. Bersamanya aku berjalan menyusuri garbarata menuju ke dalam kabin, kami terpisahkan oleh nomer tempat duduk, aku didepan dan ia dibelakang.
Aku memilih duduk di lantai, dekat dengan lorong terminal 4 dengan harapan apabila ada pengumuman aku bisa mendengarnya lebih jelas, tapi sejujurnya hati masih merasa was-was dengan pernyataan yang diungkapkan petugas tadi. 5 menit, 7 menit, 10 menit berlalu….ada mbak-mbak (kakak perempuan) yang mendekatiku, ia bertanya persis seperti pertanyaanku tadi “kenapa belum dibuka ya mbak?” aku jelaskan secara perlahan. Rupanya, mbak-mbak ini sengaja bertanya padaku karena mengetahui bahwa aku akan menuju ke Jogja, darimana? Rupanya di lengan kananku ada logo universitas tempatku belajar, Gadjah Mada. Tanpa mengetahui namanya, ternyata mbak-mbak itu berasal dari Boyolali, ia datang ke Bali untuk melamar menjadi PNS, dan akan kembali lagi Desember kelak untuk menjalani ujian tertulis. Bersamanya aku berjalan menyusuri garbarata menuju ke dalam kabin, kami terpisahkan oleh nomer tempat duduk, aku didepan dan ia dibelakang.
Perjalanan
di dalam kabin pesawatpun juga tak kalah menarik bila, pemandangan di bawah
sana, kulihat pemandangan nan elok ketika pesawat lepas landas meninggalkan
Dewata, selat Bali, dan ketika aku sadar pesawat berada di atas langit Jawa,
ada Jembatan Suramadu yang seolah berteriak membangunkanku “Woy, aku dibawah
nih…katanya mo lihat aku!” begitu katanya. Ya, karena sebelumnya aku belum
pernah melintas atau sekedar melihat jembatan Suramadu secara langsung.
Aku
duduk di sisi kanan pesawat dan berada tepat di samping jendela, inilah yang
kusukai, aku bisa memandang luasnya angkasa, sungguh kuasa Tuhan yang tiada
duanya. Tepat di sebelah kiri, nampak ibu yang usianya….mungkin seumuran dengan
ibuku, bersama dengan suami tercintanya. Beliau berdua, hendak berlibur untuk
beberapa hari di Yogyakarta, ini terlihat dari pakaian yang beliau berdua
kenakan, ya…serba santai, simple, namun nyaman. Dari cerita ibu maupun bapak
yang duduk dikursi sebaris denganku, ini kali pertama berkunjung ke Yogyakarta.
Aku pun menjadi tour guide dadakan bagi beliau berdua, rupanya pasangan
bapak-ibu ini tidak sabar untuk segera menjelajahi Yogyakarta, dan aku perlu
meluruskan beliau berdua ketika mengira Candi Borobudur berada di wilayah D.I
Yogyakarta.
Tidak
sampai 30 menit setelah melintasi wilayah yang kuperkirakan Surabaya, aku
melihat dua buah gunung menjulang tinggi, tidak salah lagi itu adalah Gunung
Merapi dan Merbabu, ya…sebentar lagi aku akan sampai. Eits, perjalanan tidak
sesingkat itu, ternyata pesawat harus berputar-putar entah kemana, aku mulai
khawatir….mungkin sampai diatas langit Kota Magelang kala itu. Dengan kemampuan
mengira-ngira arah yang diajarkan ketika pramuka, aku meyakini pesawat berputar
arah kembali menuju Yogyakarta dengan ketinggian yang semakin mendekati tanah.
Aku bisa melihatnya indahnya danau buatan di puncak Gunung Api Purba
Nglanggeran dari atas awan dan eloknya jajaran pegunungan Menoreh, Gunung
Kidul. Masih terpesona melihat pemandangan dari dalam kabin, tak kusangka ada
pesawat AirAsia yang menyelip tepat disamping pesawat yang aku tumpangi, wow,
ini pengalaman pertama diselip pesawat lain. Diselip mobil, motor, bis, truk
sudah biasa kualami di Jl. Jogja-Solo, tapi ini pesawat ! pesawat!
Dengan
masih keheranan melihat kejadian yang baru saja aku alami, ternyata kami makin
mendekati landasan Adisutjipto, pesawat merendah dan aku menyadari…ooh ternyata
kami berputar putar di udara selama lebih dari 10 menit karena menunggu antrean
untuk mendarat, dan AirAsia yang menyelip kami mendarat lebih dulu, tepat sebelum
kami mendarat. Hhmmm… rupanya pemindahan lokasi Bandara Adisutjipto perlu
dilakukan, Yogyakarta perlu Bandar udara yang lebih luas, pikirku. Letaknya di
tengah kota sangat strategis tapi menyebabkan polusi suara, dan dirasa kurang
aman bagi penduduk di kawasan sekitarnya. Sedikit bercerita, Ngurah Rai jauh
lebih luas, besar, dan mewah dibandingkan Adisutjipto… saat akan take-off ada 5
pesawat yang mengantri dengan rapi, beriringan tepat dibelakang pesawat yang
kutumpangi, ya ada 5 pesawat sekaligus padahal Ngurah Rai memiliki lahan yang
lebih luas. Kita tengok Yogyakarta, luas lahan bandaranya tidak seberapa,
keduanya sam-sama Bandar udara Internasional… bisa dibayangkan betapa
“riweuhnya” jalur angkutan udara (pesawat) yang berseliweran di atas langit
Yogyakarta dan sekitarnya.
Haft…itulah
cerita singkatku tentang petualangan di Ngurah Rai International Airport.
Insyaallah akan ada cerita di tempat-tempat
menarik lainnya. Doakan aku agar selalu produktif menghasilkan karya ya
sobat, agar aku bisa menjelajah ke semua wilayah Indonesia, seperti keinginanku
semasa kecil dulu.
Cerita
selanjutnya :
Gambir,
Menunggu Ular Besi Menjemputku Pulang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar