Rabu, 14 Januari 2015

Petualangan Ngurah Rai

Aku berfikir, cerita ini harus  kuceritakan ke banyak orang. Petualangan mandiriku, sendiri, tanpa kawan, tanpa pasangan, dengan kata lain aku seorang jomblo. Ini dimulai ketika kamis malam, sms singkat datang dari panitia sebuah acara kompetisi di Denpasar Bali, dimana aku menjadi peserta yang lolos. Aku buru-buru kalap dan mengecek situs penjualan tiket pesawat online, klik, klik, klik dan… tinggal transfer.

Di depan pintu ATM, aku masukkan kartu dan transfer, namun sayangnya transaksigagal. Kuputuskan untuk berpindah ke mesin tetangga, ternyata masih gagal, kucoba memakai kartu ATM lain ternyata nihil. Akhirnya, kuputuskan untuk membeli langsung ke kantor, keesokan harinya.

Sabtu, 1 november 2014
Satu tas sekolah (backpack) siap kubawa menuju denpasar. Perjalanan ku mulai dengan jalan kaki menuju Kopma UGM dan foodcourt UGM untuk sekedar membeli camilan selama perjalanan. Tepat jam 3 sore, aku berada di dalam bus Transjogja jalur 3B yang menuju kea rah Adisutjipto International Airport. Istimewanya, hari ini aku tidak merasakan macet, hanya satu jam kurang aku sudah berada di kawasan bandara, Maguwoharjo. Dengan enteng aku memasuki lorong dan akhirnya sampai diruang tunggu, masih 2 jam lagi untuk check-in, terlalu dini.. ya, aku takut tertinggal pesawat. Daripada merugi, lebih baik menunggu, pikirku. Tik tok tik tok tik tok, bandara di kota istimewa ini memang lebih kecil dibanding 3 bandara megah yang pernah kukunjungi, Kuala Namu, Hang Nadim atau Ngurah Rai. Aku berusaha mengusir rasa bosanku dengan berjalan kesana kemari, melihat suasana sekitar, atau sekedar mencium aroma Roti O yang sedapnya tak terkira itu. Niat untuk membeli makanan ini itu harus kuat aku urungkan, aku tahu ini bukan saat yang tepat untuk berwisata kuliner di dalam airport. Waktu ashar telah lewat, tiba saat adzan maghrib, akhirnya waktuku untuk check-in. akan lega rasanya ketika tas sekolahku sudah masuk bagasi, kini aku bebas melenggang menuju ruang tunggu dan bisa melaksanakan sholat maghrib. Di ruang tunggu ini aku juga harus melawan rasa bosan, disamping itu aku harus focus ketika ada panggilan untuk boarding, kebiasaan buruk, aku selalu telat info ketika boarding, untung  saja tidak sampai tertinggal, huft.

20.00 WIB lebih sedikit, pesawat yang aku tumpangi meninggalkan kota pelajar, hendak menuju pulau dewata. Suasana malam, yang remang-remang, seolah menyambut petualanganku dengan hangat dan romantic, ya aku tahu aku memang sendirian di situ… dia tahu akan hal itu, malam dan sinar lampu kota yang berpendar sengaja datang agar aku tidak merasa sendirian (baca : jomblo). Rupanya, aku tertidur pulas, dan terbangun ketika tepat berada di atas Selat Bali, beberapa menit lagi aku mendarat. Syukur, Alhamdulillah dengan selamat aku bisa menginjakkan kaki di Pulau Bali. Kulirik jam tanganku, rupanya jam kesayanganku juga ikut jet-lag, ia menunjukkan pukul 23 lebih. Sudah larut, aku buru-buru mengambil tas dan mencari taksi menuju hotel yang sudah kupesan. Sejujurnya, aku kaget ketika tariff taksi bandara yang paling murah saat itu dipatok 110 ribu, ya tak ada pilihan lain kan? Aku menyetujui… dan sampailah di hotel, bapak sopir taksi dengan ramah mengucap selamat malam, dan terimakasih.

Kegiatanku di Bali selayaknya seperti ajang kompetisi lainnya, bertemu teman baru, panitia baru, suku baru, bahasa baru, semuanya indah.. semakin membuatku bersyukur bahwa aku lahir sebagai orang berkebangsaan Indonesia. Agaknya tidak berlebihan bila ketika kulihat merah-putih berkibar ada air mata yang tidak sengaja menetes.

2 November 2014
Ini saat yang ditunggu, pengumuman juara. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang selalu mempermudah jalan.. aku berhasil memboyong juara 2 untuk kategori poster edukasi popular, alamamater Gadjah Mada berhak bersanding bersama kawan lain. Selanjutnya, hari kedua kuhabiskan waktu dengan kakak senior angkatanku yang datang ke Denpasar lebih awal untuk sekedar mengenal Kota Denpasar lebih dekat, memasuki mall-mall dengan harga selangit (baca : windows shopping)

3 november 2014
Rombongan Gadjah Mada dan Tanjungpura menuju Ngurah Rai International Airport, padahal waktu masih menunjukkan jam 4 pagi, lagi-lagi karena alasan takut macet kami harus bangun pagi, tanpa mandi, hanya sikat gigi. Skitar pukul 6 rombongan kakak tingkatku sudah terbang menuju Yogyakarta, aku? Aku masih santai ngobrol kesana-kemari dengan peserta dari Pontianak (lupa namanya) mereka take of jam 8 pagi, sedangkan aku jam 10 pagi.

Sudah jam 8 lebih, aku duduk di depan loket check-in bersama dengan ibu-ibu yang sejak tadi subuh sudah aku lihat, beliau tak kunjung berpindah dari kursi. Rupanya ibu ini cukup ramah, beliau dulu yang menyapa, aku lupa tidak bertanya siapa namanya. Ibu X ini hendak pergi ke Balikpapan, penerbangannya masih jam 1 siang. Dengan alasan ingin menemani ibu X, aku memulai pembicaraan (latihan untuk CFHC sebelum pendekatan ke keluarga) ibu X tipe ekstrovert, beliau menyenangkan, salah satu koki restoran di kawasan Jimbaran. Yang menarik, beliau bercerita masalah kesehatan yang pernah dialami. Obesitas menjadi musuhnya, dan hingga saat ini ia mesih menjalani program diet, dalam 1 bulan beliau berhasil menurunkan 20 kg, dokter pun juga heran. Sejak 1 tahun lalu, beliau memutuskan untuk tidak makan nasi, gorengan, cake, dan yang enak-enak lain. Sayur, buah, air putih adalah teman setia setiap saat, ketika kutawari biscuit coklat kesukaannya, beliau menjawab “terimaksih dek”. Pesan sederhana dari ibu X ini “Sehat itu mahal, masih muda dijaga ya”.

Monitor yang tergantung di langit-langit menunjukkan jam 8.30 aku cepat-cepat check-in, dan dengan agak sedih berpamitan, meninggalkan ibu X seorang diri. Selanjutnya menuju lantai 2, melewati airport tax yang berbiaya mahal, 75 ribu rupiah. Sangat jauh bila dibanding di jogja yang hanya 35 ribu, di Medan hanya 20 ribu, agaknya biaya hidup di Bali memang lebih mahal.

Setelah sukses melalui pemeriksaan keamanan, dan petugas bea cukai (sperti melihat teman-teman SMAku) aku langsung berjalan melewati lorong stand makanan, baju, barang antik hingga air mineral aqua yang berharga 16 ribu rupiah, hamper 8 kali lebih mahal dari biasanya, seingatku harga aqua di kopma UGM hanya 1.700 rupiah.

Aku berangkat dari terminal 4, namun karena penuh aku mencoba kursi kosong yang enak untuk bersandar dan nyaman untuk melihat pemandangan. Kursiku tidak begitu luas, namun masih kosong, sukup untuk diduduki 2 orang lagi. Di kursi kayu panjang ini, aku tak sadar melamun tersihir menikmati indahnya pemandangan di kawasan Ngurah Rai, atau sekedar melihat pesawat yang take-off, landing, take-off, landing begitu seterusnya. 

Lamunanku buyar ketika kuketahui di sisi kananku sudah ada seorang ibu paruh baya dan suaminya (kalau kutebak), serta seorang laki-laki muda yang berdiri di belakang kursi, yang kutahu laki-laki muda dan rupawan itu adalah putra dari ibu yang duduk tepat di sampingku.
Ibu paruh baya ini tak kalah ramah, beliau memulai perbincangan diantara kami. Sepertinya aku sangat tertarik,aku berusaha membaca gesture ibu ini, aku rasa ibu ini pun juga merasa nyaman bercerita denganku. Ibu paruh baya ini hendak menuju ke salah satu rumah sakit di Jakarta untuk mencari kesembuhan.  Aku terhenyak tatkala ibu ini bercerita mengenai masalah kesehatan yang ia derita, kanker usus. Ya…kanker bukanlah penyakit sepele layaknya panuan atau kudis, kanker adalah salah satu pembunuh. Hanya orang-orang terpilih saja yang mampu bertahan, ibu ini salah satunya…lebih dari 5 kali beliau menjalani operasi dan kemoterapi, semangat untuk sembuh sangatlah tinggi. Usia ibu ini tidak lagi muda, tapi usahanya kuakui sangat luar biasa. Beruntungnya, putra bungsu ibu ini, yang sedang berdiri dibelakang kursi kami, selalu mendukung kesembuhan ibundanya, ia mencari berbagai cara guna menyembuhkan ibu yang sangat ia cintai. Ah…putra ibu paruh baya itu, aku pikir orang-orang  seperti itulah yang aku cari kelak, yang cocok menjadi ayah bagi anak-anakku nanti. Hampir saja air mataku menetes, beruntungnya  ibu baruh baya beserta sang suami dan putranya yang rupawan itu pergi karena boarding citilink untuk penerbangan ke Jakarta sudah dibuka. Paling tidak, sekarang aku tidak malu bila air mataku tidak sadar menetes.

Kini, aku sendiri lagi…kutarik nafas pelan-pelan. Tampaknya aku mulai bosan berada di dalam ruang tunggu nan megah ini, satu tempat yang  perlu aku tuju untuk mengusir rasa bosanku adalah toilet, ya…bagiku, toilet di bandara adalah tempat special, desain interior di dalam toilet membuatku tertarik untuk sekedar menengoknya, dan tahukah… di setiap toilet bandara di masing-masing daerah memiliki aroma parfum yang berbeda-beda, itu yang membuatku kangen apabila perjalanan jauhku harus singgah di Bandar udara.

Sepertinya, aroma kopi yang ada di toilet sedikit menghilangkan rasa bosanku. Masih dengan dalih menghilangkan rasa bosan, aku berpindah tempat menunggu waktu boarding di terminal 3, terminal ini berhadapan langsung dengan lautan, selat bali lebih tepatnya. Wah, indahnya…ini kali pertamanya aku singgah di bandara yang landasan terbangnya berada diatas laut.

Jam 10.00 WIB
Aku tengok kesana-kemari, agak gundah…seharusnya boarding sudah dibuka, kenapa masih adem ayem saja? Merasa ada yang aneh, aku coba mendekati petugas Lion-air yang berjaga di terminal 4. Ternyata ada delay, sudah kuduga. Pesawat masih dalam perbaikan, mendengar kalimat itu seketika aku menjadi khawatir, khawatir kalau kalau….ah, sudahlah. Naudzubillah, pikiran buruk segera aku hilangkan. 

Aku memilih duduk di lantai, dekat dengan lorong terminal 4 dengan harapan apabila ada pengumuman aku bisa mendengarnya lebih jelas, tapi sejujurnya hati masih merasa was-was dengan pernyataan yang diungkapkan petugas tadi. 5 menit, 7 menit, 10 menit berlalu….ada mbak-mbak (kakak perempuan) yang mendekatiku, ia bertanya persis seperti pertanyaanku tadi “kenapa belum dibuka ya mbak?” aku jelaskan secara perlahan. Rupanya, mbak-mbak ini sengaja bertanya padaku karena mengetahui bahwa aku akan menuju ke Jogja, darimana? Rupanya di lengan kananku ada logo universitas tempatku belajar, Gadjah Mada. Tanpa mengetahui namanya, ternyata mbak-mbak itu berasal dari Boyolali, ia datang ke Bali untuk melamar menjadi PNS, dan akan kembali lagi Desember kelak untuk menjalani ujian tertulis. Bersamanya aku berjalan menyusuri garbarata menuju ke dalam kabin, kami terpisahkan oleh nomer tempat duduk, aku didepan dan ia dibelakang.

Perjalanan di dalam kabin pesawatpun juga tak kalah menarik bila, pemandangan di bawah sana, kulihat pemandangan nan elok ketika pesawat lepas landas meninggalkan Dewata, selat Bali, dan ketika aku sadar pesawat berada di atas langit Jawa, ada Jembatan Suramadu yang seolah berteriak membangunkanku “Woy, aku dibawah nih…katanya mo lihat aku!” begitu katanya. Ya, karena sebelumnya aku belum pernah melintas atau sekedar melihat jembatan Suramadu secara langsung.

Aku duduk di sisi kanan pesawat dan berada tepat di samping jendela, inilah yang kusukai, aku bisa memandang luasnya angkasa, sungguh kuasa Tuhan yang tiada duanya. Tepat di sebelah kiri, nampak ibu yang usianya….mungkin seumuran dengan ibuku, bersama dengan suami tercintanya. Beliau berdua, hendak berlibur untuk beberapa hari di Yogyakarta, ini terlihat dari pakaian yang beliau berdua kenakan, ya…serba santai, simple, namun nyaman. Dari cerita ibu maupun bapak yang duduk dikursi sebaris denganku, ini kali pertama berkunjung ke Yogyakarta. Aku pun menjadi tour guide dadakan bagi beliau berdua, rupanya pasangan bapak-ibu ini tidak sabar untuk segera menjelajahi Yogyakarta, dan aku perlu meluruskan beliau berdua ketika mengira Candi Borobudur berada di wilayah D.I Yogyakarta.

Tidak sampai 30 menit setelah melintasi wilayah yang kuperkirakan Surabaya, aku melihat dua buah gunung menjulang tinggi, tidak salah lagi itu adalah Gunung Merapi dan Merbabu, ya…sebentar lagi aku akan sampai. Eits, perjalanan tidak sesingkat itu, ternyata pesawat harus berputar-putar entah kemana, aku mulai khawatir….mungkin sampai diatas langit Kota Magelang kala itu. Dengan kemampuan mengira-ngira arah yang diajarkan ketika pramuka, aku meyakini pesawat berputar arah kembali menuju Yogyakarta dengan ketinggian yang semakin mendekati tanah. Aku bisa melihatnya indahnya danau buatan di puncak Gunung Api Purba Nglanggeran dari atas awan dan eloknya jajaran pegunungan Menoreh, Gunung Kidul. Masih terpesona melihat pemandangan dari dalam kabin, tak kusangka ada pesawat AirAsia yang menyelip tepat disamping pesawat yang aku tumpangi, wow, ini pengalaman pertama diselip pesawat lain. Diselip mobil, motor, bis, truk sudah biasa kualami di Jl. Jogja-Solo, tapi ini pesawat ! pesawat!

Dengan masih keheranan melihat kejadian yang baru saja aku alami, ternyata kami makin mendekati landasan Adisutjipto, pesawat merendah dan aku menyadari…ooh ternyata kami berputar putar di udara selama lebih dari 10 menit karena menunggu antrean untuk mendarat, dan AirAsia yang menyelip kami mendarat lebih dulu, tepat sebelum kami mendarat. Hhmmm… rupanya pemindahan lokasi Bandara Adisutjipto perlu dilakukan, Yogyakarta perlu Bandar udara yang lebih luas, pikirku. Letaknya di tengah kota sangat strategis tapi menyebabkan polusi suara, dan dirasa kurang aman bagi penduduk di kawasan sekitarnya. Sedikit bercerita, Ngurah Rai jauh lebih luas, besar, dan mewah dibandingkan Adisutjipto… saat akan take-off ada 5 pesawat yang mengantri dengan rapi, beriringan tepat dibelakang pesawat yang kutumpangi, ya ada 5 pesawat sekaligus padahal Ngurah Rai memiliki lahan yang lebih luas. Kita tengok Yogyakarta, luas lahan bandaranya tidak seberapa, keduanya sam-sama Bandar udara Internasional… bisa dibayangkan betapa “riweuhnya” jalur angkutan udara (pesawat) yang berseliweran di atas langit Yogyakarta dan sekitarnya.

Haft…itulah cerita singkatku tentang petualangan di Ngurah Rai International Airport. Insyaallah akan ada cerita di tempat-tempat  menarik lainnya. Doakan aku agar selalu produktif menghasilkan karya ya sobat, agar aku bisa menjelajah ke semua wilayah Indonesia, seperti keinginanku semasa kecil dulu.

Cerita selanjutnya :
Gambir, Menunggu Ular Besi Menjemputku Pulang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar