Kamis, 26 Maret 2015

Gambir, Menunggu Ular Besi Menjemputku Pulang

Malam ini akan kucoba kutepati janjiku, ada banyak cerita yang ingin kutulis kawan tapi apa daya… kau pasti tahu segala tentangku 

Cerita ini adalah pengalamanku 3 bulan lalu, sebelum tahun baru. Inilah perjalanan pertamaku, masih seorang diri juga menuju Ibukota Jakarta. Agak berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kali ini si ular besi yang setia menemaniku, memeluk saat aku tidur, dan mengantarku hingga kota tujuan kurang lebih selama 8 jam.
Photo credit : ppobnusantara.com

Perjalanan darat yang cukup panjang, ini karena aku kehabisan tiket murah pesawat (baca : AirAsia). Pilihan kedua akhirnya kujatuhkan pada kereta api, harganya pun sangat bersaing dengan AirAsia, bersaing dalam arti tiket keretanya malah lebih mahal. Aku baru sadar ternyata kereta yang hendak mengantarku adalah kereta eksekutif, kuakui memang sangat menguras kantong apalagi bagi mahasiswa sepertiku. Tapi, harga tiket yang mahal ini memang pantas untuk pelayanan dan kenyamanan saat perjalanan. Sederhana, kursi di kereta api eksekutif ini menurutku lebih pas, ergonomis di badan ketimbang kursi di pesawat kelas ekonomi. Hal ini yang ku syukuri.



Jumat, 12 Desember 2014
Perjalanan ku awali pukul 06.00 pagi tepat, aku sudah berada di dalam halte Transjogja shelter FK UGM 3A untuk menuju Stasiun Tugu Yogyakarta, sangat pagi? Tidak juga, ini kulakukan untuk antisipasi seandainya jalanan macet lalu tertinggal kereta, itulah aku si golongan darah A selalu ada plan B, plan C, dan seterusnya.

Kurang lebih 15 aku menunggu, bus 3A pun datang, tidak terlalu ramai sehingga aku merasa nyaman dan tidak “pekewuh” akibat tas ranselku yang cukup gendut. Simple, aku hanya membawa satu tas ransel yang biasa aku gunakan ketika kuliah dan tas Arei kecil tempat snack, minuman, dan dompet, itu saja..sama persis ketika aku pergi ke Bali.

Karena ini adalah perjalanan jauh pertamaku menggunakan kereta api, aku tak mau melewatkan momen menarik di sepanjang jalur. Betul, menakjubkan sekali. Ada banyak keindahan yang bias kusaksikan secara langsung lewat kedua mataku, Allah memang Maha Indah. Aku melewati (semacam) hutan di perbatasan Kulonprogo-Purworejo, melihat luasnya hamparan sawah yang masih hijau di kawasan Banyumas, yang dikelilingi pegunangan nan molek. Disambut oleh merdunya lagu Manuk Dadali, saat berhenti sejenak di Kabupaten Cirebon. Senangnya, aku sampai di Jawa-Barat!

Hal lain saat aku…. memasuki wilayah Bekasi, pemandangan yang mengejutkan kutemui disini, 180 derajat sangat berbeda saat melintas di kawasan pedesaan Jawa-Tengah. Maaf, harus kukatakan disini tapi….ini benar-benar terjadi, dan saat itu aku langsung meng-iya-kan alasan mengapa kota ini sering dibully. Disini kulihat ada banyak sampah menumpuk di sisi rel kereta api, tidak cantik memang…ketika mataku mencoba melihat ke sisi yang lebih jauh, Oh Tuhan…ada banyak pemukiman yang bias dibilang…tidak terlalu layak untuk dihuni, rumah-rumah itu seakan-akan berdiri diatas rawa-rawa. Ya! Rawa-rawa semacam tempat Hayati menceburkan diri.

Sejujurnya aku bingung atas apa yang terjadi di negaraku ini. Bukan salah Bekasi memang, hanya penduduknya lah yang kurang bijaksana dalam menghargai keindahan, menjaga ekosistem alam, dan menjaga sanitasi lingkungan. Sangat kompleks! Sudah menjadi takdir Bekasi bila ia harus berbatasan langsung dengan sang Ibukota, ibu adalah sosok penyayang..nyatanya tak berlaku apabila kedua kata “ibu” dan “kota” digabung. Ibukota adalah kejam, itu menurut kata orang…mungkin betul juga. Kemilau pesona ibukota menjadi daya tarik bagi perantau, mereka berbondong-bondong menuju ibukota, untuk mencari pekerjaan katanya. Tapi tak disangka, nasib beruntung tak datang jua. Akhirnya, mereka mulai menyingkir, bukan kembali ke kampong halamannya tetapi malah mencari tempat tinggal sementara, baik di bawah kolong jembatan ataupun mencari lahan di perbatasan ibukota, maka Bekasi lah yang jadi pilihannya.

Nah, itulah hipotesisku mengenai Bekasi dan segala permasalahannya. Seperti surge dan neraka mungkin, masih ingat kan ceritaku ketika menyusuri kawasan Banyumas yang cantik dan memiliki persawahan yang luas? Apakah mereka tidak tertarik menjadi petani? Apa kabar dengan rencana swasembada pangan? Masih bangga kah menjadi importer beras padahal kita selalu menyebut-nyebut sebagai Negara agraris?

Wah, aku agak keren di tulisanku kali ini, hehe.

Pukul 16.00 lebih aku memasuki wilayah Jakarta, liaison officer mulai harap-harap cemas menghubungiku, karena keretaku agak delay dari jadwal sesungguhnya. Ah, akhirnya kuakhiri perjalanan panjangku, aku tiba di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Alhamdulillah.
Pintu kereta pun dibuka, sudah banyak bapak-bapak porter paruh baya yang berjajar untuk membantu penumpang mengangkat barang. Kalau diperhatikan, bapak-bapak ini menggunakan bahasa jawa, logatnya pun juga cukup jawa, jawa timuran lebih tepatnya. Jakarta rasa Jawa. Ada satu hal lagi yang membuatku terpesona di Stasiun Gambir ini, ternyata rel kereta api beserta peron tempat penumpang menunggu, berada di lantai 3, Wow! Keren bukan? Hebat sekali insinyur yang membangunnya!

Mungkin stasiun ini sudah mengalami renovasi beberapa kali, gaya arsitekturnya sudah modern, memiliki 3 lantai, dan dilengkapi beberapa ruko/ stand penjualan modern seperti Starbucks, CFC, Roti O dan ada juga panggung mini untuk live music. Gaya artitektur yang sangat berbeda bila dibandingkan Stasiun Tugu Yogyakarta. Stasiun Tugu masih kental dengan nuansa Belanda, walaupun sudah direnovasi. Langit-langitnya tinggi, pintu-pintunya lebar dan menjulang. Tapi mereka sama-sama memiliki acara live music.

Dengan (agak) susah payah aku berjalan turun ke lantai satu, mencari LO-ku. Aku menunggu duduk di atas kursi besi panjang dekat dengan loket penjualan tiket. 10 menit kemudian, LO-ku datang..mereka sumringah, ramah sekali. Akhirnya kami menuju mobil untuk mengantarku istirahat di hotel. Dari dalam mobil, aku melihat…”Oh beginilah Jakarta” satu kata yang tidak perlu dipikirkan dan langsung terucap, “Macet!” padahal jalanan begitu lebar, tapi tetap saja macet. Beruntung, mobil yang kutumpangi adalah city car berbody mungil, ia lincah dalam mencari celah.oh iya.. kala itu ada dua orang yang menjemputku, masih angkatan 2014, itu berarti adik kelas tepat satu tahun dibawahku. Saat itu, di samping kananku ada LO-ku yang cantik, tapi aku lupa namanya dan satu orang lagi seorang laki-laki yang saat itu menyetir dan aku juga lupa namanya, dari pengakuannya dia juga orang Klaten, tapi merantau di Jambi, hehe..senang bertemu dengan saudara satu kampong di Ibukota nan fana ini.

Di tengah jalan inilah terjadi hal yang….biasa kulihat di tv. Ya..di berita televise biasanya kulihat orang-orang menerobos jalur busway, biasanya pula ayahku dan aku mengutuk orang-orang pelanggar aturan ini. Kali ini, aku menjadi salah satu oknum pelanggar aturan. Kami bertiga dalam mobil mungil dengan sadar dan sengaja memakai jalur busway untuk perjalanan. Aku lelah, panitia juga makin lelah. Maafkan aku ya Allah…

Hotel tempatku menginap bernama Hotel 888, hotel ini tidak memiliki lantai 4 di nomor lift-nya. Mungkin pemiliknya adalah etnis Tionghoa, pikirku. Hotel ini mungil tapi tetap nyaman untuk menginap, letaknya persis di depan Kampus Trisakti dan Tarumanegara. Hanya saja agak memerlukan waktu yang cukup lama karena jalanan harus memutar, dan satu arah..repot ya ?!

Acara pembukaan dimulai sekitar pukul 19.00 WIB, tidak seperti yang banyak orang pikirkan..mahasiswa kedokteran Trisakti ternyata cukup sederhana, mereka ramah, hangat, dan asyik. Oh iya, tentu kalian tahu Nycta Gina bukan? Ia adalah lulusan kampus ini, yang saat ini sudah menjadi dokter.
dr. Nycta Gina berperan sebagai Jeng Kelin (photo credit : life.viva.co.id)

Saatnya pengundian nomor peserta, firasatku agak tidak enak dan deg-degan, deg-degan kali ini berbeda dari sebelumnya, sangat deg-degan! Allahuakbar, aku mendapat nomor urut 1, haft..agak syok sejujurnya, karena materi yang akan kusampaikan sama-sekali belum matang, property wayangku? Hai apa kabar propertiku? :’ sepertinya belum aku gunting dengan rapi.

Usai acara pembukaan sekaligus pengundian nomor yang menegangkan, aku mencoba menenangkan diri di kamarku, dan lebih banyak berdoa supaya tidak terjadi hal yang memalukan, yak arena aku membawa nama besar Gadjah Mada. Dengan ingatan seadanya, aku berlatih di depan cermin, memakai property wayang (yang saat itu baru pertama kalinya aku presentasi menggunakan property). Merasa cukup, aku istirahat sejenak di atas kasur sambil harap-harap cemas. Teman satu kamarku, dari Universitas Hang Tuah Surabaya, namanya Mbak Quri, aku tahu dia juga member AMSA dari dua gelang yang dipakai di tangan kirinya. Paling tidak, kita sama-sama saudara di AMSA dan sama-sama bersaing di kategori lomba poster public J

Tengah malam (atau malah dini hari) aku terbangun, karena kepanasan..AC tidak begitu terasa. Aku meminta petunjuk dan memohon kepada Allah supaya dijadikan orang yang beruntung esok. Aku pasrah dengan apapun yang terjadi :”

Hal yang membuatku deg-degan sebentar lagi terjadi, memasuki kampus FK Trisakti, menuju ruangan dingin tempat dimana aku akan presentasi. Saat itu, ada dua orang juri, yang pertama seorang dokter cantik, dan tinggi yang sekilas terlihat agak cuek dan judes (menurutku) namun ketika memberi komentar ternyata beliau sangaat baik sekali, dan memujiku :” yang kedua adalah seorang bapak (?) ahli dalam desain, lulusan DKV, tentu aku hanya butiran debu bila dibandingkan beliau, da aku mah apa atuh. Perawakannya lumayan sangar, tinggi, besar, tapi tak disangka beliau sangat baik. Intinya, inilah juri idamanku selama ini, memberi saran dengan tidak menjatuhkan, tetap tersenyum dengan tulus, pokoknya….cucok! dan satu lagi yang tak bias kulupakan, juri pertama diatas mengira bahwa aku seorang laki-laki :o

Akhirnya, sesi presentasi aku lewati. Sejujurnya, aku agak sedikit down ketika melihat peserta lain mempresentasikan karyanya, dengan berbagai macam gaya pula. Mereka jauh lebih keren daripada diriku. Saat itu pula, aku berusaha untuk tetap anggun sambil menghabiskan snack. Ini kulakukan untuk menutupi stress yang saat itu hinggap di pikiranku. Hanya keajaiban dari Allah yang mampu membawaku menjadi pemenang.
Sesi presentasi ke sepuluh peserta berakhir, Alhamdulillah. Peserta diarahkan menuju auditorium untuk mengikuti seminar “Parasitic Disease”. Luar biasa, ternyata seminar ini ditujukan untuk para dosen dari berbagai perguruan tinggi, pesertanya mulai dari koas hingga dokter senior. Aku tertarik saat membahas ‘toxoplasmosis’ karena beberapa hari lalu tetangga kosku opname, yang kutahu ia sakit kepala berat dan sudah didiagnosis toxoplasmosis beberapa tahun yang lalu.

Di akhir acara, akhirnya hal yang ditunggu-tunggu oleh peserta lain (aku sebetulnya agak ragu), pengumuman disampaikan oleh ibu dekan FK Trisakti. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang Maha Pemurah, Universitas Gadjah Mada akhirnya disebut juga, Aku membawa oleh-oleh juara ketiga untuk kategori poster public, Alhamdulillah :” Semua adalah keajaiban dari Allah.

Hari ini, Sabtu 13 Desember 2014 adalah hari terakhirku di Jakarta, selesai acara kami berfoto bersama panitia sebelum meninggalkan kampus FK Trisakti. Aku diantar oleh kedua orang panitia, laki-laki semua, yang satu abang-abang angkatan 2012, satu lagi adik angkatan 2014 yang pada waktu kemarin menjemputku saat tiba di Jakarta, da nada satu lagi peserta namanya Sobri dari UI, ia diantar ke Stasiun Juanda karena ia menggunakan KRL menuju Depok sedangkan aku menuju ke Stasiun Gambir.

Aku menghabiskan waktu yang lumayan agak lama di sini. Saat itu aku tiba sekitar jam 17.00 sedangkan keretaku datang jam 19.00 WIB. Sejujurnya aku bingung, duduk di tempat sambil ngobrol dengan calon penumpang lain, mulai dari ibu-ibu, mbak-mbak, sampai kakek-kakek, menurut pengakuan kakek-kakek ini seorang veteran, beliau masih terbilang cukup sehat, dan sangat bersemangat menceritakan pengalamannya di era penjajahan dulu. Beliau hendak menuju ke Cirebon, untuk melihat lahan pertaniannya di sana.

Aturan “Boleh masuk satu jam sebelum keberangkatan” membuatku memaku diri diatas kursi, adzan maghrib tiba, aku mencari mushola yang berada di luar, tapi jauh…akhirnya aku menuju ke petugas meminta izin untuk sholat dan akhirnya sangat diperbolehkan, dalam hati aku berkata “kenapa ngga dari tadi ya? aku cari alasan biar bias masuk?”

Setelah menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim, aku bergegas menuju lantai dua yang dipenuhi ruko mini, memotret Tugu Monas yang bermandikan cahaya lampu LED yang setiap menit selalu berganti warna, lalu menuju lantai 3, peron kereta api. Di peron ini, lagu Jali-Jali mengalun indah, menjadi lagu perpisahan antara aku dan Jakarta. Argo Lawu sudah melambai, siap mengantarku menuju Kota Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar