Pernah
mendengar kosakata siger? Beruntunglah kamu, karena aku belum pernah. Siger
adalah semacam hiasan kepala untuk pengantin wanita di wilayah Lampung. Mengapa
Lampung? Ya, karena bulan lalu aku baru saja menginjakkan kaki di Bumi Rhuwa
Jurai, Provinsi Lampung.
Jika
dihitung, ini kali ketiga aku berkesempatan untuk jalan-jalan menjelang ujian
PBT. Menyenangkan. Di perjalananku kali ini, ada hal-hal mengejutkan yang
membuatmu sedikit syok dan membuatku sedikit kelimpungan (pada awalnya).
Sekitar
setengah tahun yang lalu, aku iseng mengirimkan sebuah poster untuk kompetisi
ilmiah mahasiswa kesehatan yang dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung. Poster ini aku buat bersamaan untuk kompetisi yang
diadakan di Universitas Udayana Bali dan Universitas Trisakti Jakarta karena
timeline yang hamper bersamaan. Lalu mengapa aku juga masih saja nekat
mengirimkan poster ini kepada panitia? Tak lain dan tak bukan ialah karena pada
guideline awal tidak akan ada sesi presentasi sehingga aku tak perlu jauh-jauh
untuk berangkat ke Lampung. Semacam mengirit dana perjalanan, pikirku.
Bulan-bulan
setelahnya, tepatnya awal tahun ternyata ada perubahan konsep acara. Guideline
diubah sedemikian rupa sehingga 15 finalis terbaik diundang untuk menghadiri
acara presentasi karya di Unila dan saat itu aku termasuk 15 finalis yang
diundang ke Unila. Alhamdulillah.
Setelah
melewati reservasi tiket yang cukup membuat dilemma akhirnya aku memutuskan
untuk membeli tiket pesawat yang tidak transit. Tidak transit maksudnya adalah
tiket perjalanan dari JOG-CGK dan CGK-TKG dibeli secara terpisah, berbeda
dengan multiple carrier. Ini menjadi
risiko bagi diriku sendiri apabila pesawat dari Yogyakarta mengalami delay, wassalam-lah aku.
13 Maret 2015
Aku mengunci
pintu kamar kosku tepat jam 09.00 WIB melanjutkan berjalan kaki hingga kopma
UGM untuk membeli souvenir beserta dengan kertas kado, yang nantinya akan
kuberikan untuk panitia. Tas trolly yang
lumayan gemuk aku sengajak titipkan di shelter Transjogja di depan Gd. Sekolah
Vokasi, beruntungnya ibu penjaga shelter kala itu sangat baik dan bersedia aku
titipi. Setelah segala urusan souvenir dan camilan selesai, aku menunggu
datangnya bus Transjogja antara 15-20 menit di dalam shelter. Dengan sedikit kerepotan membawa tas ransel dan trolly akhirnya aku memasuki bus,
perjalanan menuju Bandara Adi Sutjipto akhirnya dimulai.
Rupanya
perkiraan waktu tidak meleset, hanya butuh 15 menit akhirnya check in Airasia
tujuan Jakarta dibuka. Pada tiket tertulis 12.00 WIB untuk take-off, nyatanya mengalami keterlambatan. Hal ini dikarenakan
luas bandara yang sudah tidak muat lagi untuk menampung banyak pesawat sehingga
pesawat harus berputar-putar di atas langit Yogyakarta untuk mengantre. Karena
tak kunjung mendengar pengumuman, akhirnya kuputuskan untuk menunaikan
kewajibanku sebagai seorang muslim, sholat dhuhur.
30 menit
kemudian calon penumpang AirAsia tujuan Jakarta baru bisa melakukan boarding. Tidak masalah, masih bisa
dikerjar untuk pesawat selanjutnya, pikirku dengan santai.
Oya, ketika boarding
inilah aku bertemu dan dimintai tolong dengan agak sedikit memaksa oleh ibu
muda, yang kulihat berpenampilan kekinian. Jika kutaksir usianya sekitar 37-an,
suaminya adalah seorang tentara dan telah memiliki 3 orang anak. Ibu ini baru
kali pertama naik pesawat seorang diri, hendak pergi ke Padang mengunjungi
suaminya yang bertugas disana, kalau tidak salah ibu ini juga bakal menghadiri
acara Persit, asosiasi istri tentara, yang kutahu itu.
Apabila
dibandingkan dengan maskapai lain, deretan kursi di maskapai AirAsia lebih
sempit, jendelanya pun juga. Sejujurnya aku lebih nyaman menggunakan Lion Air.
Perjalanan JOG-CGK aku tempuh dalam 55 menit, cukup singkat. Akhirnya sampailah
aku di Bandara Soekarno Hatta, bandara terbesar, sekaligus ter-ribet yang
pernah aku singgahi. Di sinilah awal mulai, sesuatu yang mendebarkan terjadi.
Hal pertama : aku salah dalam menghitung perkiraan waktu, hal kedua : aku harus
menolong ibu muda yang tadi telah kuceritakan.
Perlu
diketahui, bandara Soetta memiliki beberapa terminal yang jaraknya terpisah
cukup jauh sehingga harus memakai shuttle untuk menuju terminal satu ke
terminal lainnya. Terminal 1 untuk tujuan Sumatera, terminal 2 untuk tujuan
Malaysia dan luar negeri, terminal 3 untuk Jawa dan Bali. Untuk tujuan Sulawesi
dan Kalimantan aku lupa di terminal mana, hehe…
Lokasi tempat
parkir pesawat dengan bangunan bandara yang cukup jauh menyebabkan koper/barang
yang berada di bagasi pesawat membutuhkan waktu 30 menit untuk bisa sampai
ditangan. Ini yang tidak aku sukai.
Setelah turun
dari pesawat, penumpang berebutan untuk memasuki bus yang disiapkan pihak
maskapai menuju pintu masuk ke dalam bangunan bandara. Ternyata ibu ini
menungguku karena takut sendirian. Setelah mengambil tas dan segala macam koper
yang lumayan banyak, ibu ini bersamaku menuju terminal 1. Di dalam bus ibu ini
kebingungan kemana ia akan menukarkan tiket, yak arena tiketnya masih berbentuk
softcopy dan segala sesuatu hal terkait pembelian tiket telah diurus suaminya.
Ku tunjukkan lokasi CS Sriwijaya Air yang berada di kiri pintu masuk, aku juga
menemani ibu ini sehingga urusan per-tiketannya telah selesai.
Tidak ada
yang aneh ketika, memasuki area check-in,
namun ketika hendak check-in oh
Tuhan ternyata pesawatku sudah terbang, “hah, yang bener mas?” itu saja yang
kukatakan, petugas Sriwijaya Air juga
ikut stress karena ada penumpangnya yang ketinggalan pesawat. Akhirnya,
mas-mas (yang agak sedikit kemayu, bila dilihat dari cara berjalan dan entah
mengapa di maskapai ini mas-masnya mayoritas memang kemayu) ini mencoba
mencarikan pesawat alternative, aku dipindahkan ke jadwal setelahnya yakni jam
17.25 WIB dengan catatan baru bisa diketahui satu jam sebelum keberangkatan
untuk menunggu penumpang yang membatalkan.
Haft, sungguh
ini membuatku harap-harap cemas. Ibuku pernah membeli tiket pesawat secara
mendadak dan harganya selangit, aku mulai menghitung uang yang ada didompet, di
ATM dan di ATM. Tak lupa ibuku juga kukabari, bahwa anak bungsunya ini telah
ditinggal oleh kekasihnya pesawatnya. Untuk menenangkan diriku, aku
berputar putar di sekeliling bandara, keluar dari area check-in melintasi deretan kursi yang penuh diduduki calon
penumpang dan akhirnya kembali lagi ke ruang CS untuk meminta kepastian apakah
sudah ada kabar baik untukku.
Di ruang customer service Sriwijaya Air ternyata
ada dua penumpang lain yang bernasib sama sepertiku, satu orang bapak-bapak
paruh baya yang hendak menuju Riau dan bapak muda, yang kutahu namanya Pak
Kurniawan. Mirip dengan namaku memang. Pak Kurniawan ini adalah korban transit, pesawat yang ia tumpangi
mengalami delay saat di Balikpapan.
Bila kulihat bapak ini agaknya merasa emosi, berkali-kali ia menanyakan kepada
petugas dan berkata “Mas, kok lama sih?” dan berkata kepada kami (aku dan bapak
yang hendak menuju Riau) “Pesawatnya yang delay, kok kita yang jadi korban.
Lama lagi” dengan nada yang cukup kesal. Tidak jauh berbeda dengan Pak
Kurniawan, bapak yang satunya lagi juga curhat, namun dengan nada suara yang
rendah.
Oya, hal yang lebih ekstrim lagi terjadi, sebelum aku bertemu dengan
kedua penumpang ini, sebelumnya ada penumpang bapak-bapak (juga) yang
marah-marah ekstrim, bapak ini merasa dirugikan akibat system transit namun tidak mendapat kursi
pengganti, karena ia juga membawa keluarganya, artinya 4 orang tidak mendapat
kursi pengganti. Hmm…
Bapak yang
menuju Riau sudah mendapatkan kepastian, beberapa menit kemudian Pak Kurniawan
menyusul. Aku? Alhamdulillah, 20 menit sebelum take-off akhirnya ada kepastian, aku adalah orang terakhir yang memasuki
kabin pesawat, dan mendapat tempat duduk di kelas bisnis. Pendingin ruangan di
dalam kabis tak bisa kurasakan, karena untuk memasuki badan pesawat ini aku
harus marathon dari lantai 1 berlari menuju lantai 2 dan harus melewati
pengecekan barang, dimana guntingku harus ku relakan untuk disita.
Aku tak
sempat lagi mengabari LO yang khawatir menungguku di Lampung, karena pesawat
hendak berangkat dan telepon genggam sudah kumatikan. Bahkan, saking mepetnya
dengan waktu terbang aku harus rela tidak mendapat biscuit Roma Sari Gandum
karena pramugari sudah berada di tempat duduknya, beruntungya aku masih
mendapat jatah air minum gelas dari maskapai.
Perjalanan
aku tempuh dalam 1 jam 10 menit. Menyeberangi selat Sunda, awalnya langit sore
biasa saja. Matahari nampak silau sehingga jendela harus buru-buru aku tutup.
Tetapi tiba-tiba awan berubah, mendung sangat gelap, gelaap. Aku yang semula
nyenyak tertidur, terbangun karena goncangan yang lumayan keras dan kaget
ketika membuka jendela dan melihat awan hitam tinggi mengepul keatas. Allahu
Akbar! Saat itu, hanya terbayang hal-hal yang….ah sudahlah, manusia terlalu
lemah bila dibandingkan hebatnya kekuasaan Allah. Bukankah segala takdir, hidup
mati, kaya miskin, jodoh, rizki sudah dituliskan?
Alhamdulillah,
kekhawatiranku sirna ketika awan hitam besar terlewati, hanya awan tipis-tipis
saja yang terlihat. Akhirnya, beberapa menit lagi kami landing aku melihat area persawahan yang luas, cantik sekali,
warnanya hijau. Lalu aku mulai bertanya, “apakah ini benar-benar Lampung?”
Mirip di Klaten, yang masih memiliki area persawahan. Lampung rasa Jawa.
![]() |
Bandara Radin Inten II (photo credit : www.nauzah.com) |
Aku mendarat
dengan selamat di bandara Radin Inten II, Bandar Lampung dengan disambut rintik
hujan yang….romantis. LO segera kukabari, rupanya ia juga menunggu delegasi
dari universitas lain. LO-ku ini masih semester 2, berarti satu tinggal
dibawahku, namanya Rini, ia sangat perhatian dengan peserta, kalem, dan baik
hati.
Di dalam satu mobil yang menjemputku ternyata aku bertemu delegasi dari
UNS dan UNDIP. Dari sinilah kita menjadi sangat akrab, dan terasa masih satu
universitas, padahal dari universitas berbeda. Faktor pertama yang membuat
akrab adalah kita sama-sama berasal dari wilayah Yogyakarta dan Jawa-Tengah,
yang kedua kita berbeda-beda kategori lomba sehingga tidak merasa tersaingi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar