Jumat, 10 April 2015

Siger (1)

Pernah mendengar kosakata siger? Beruntunglah kamu, karena aku belum pernah. Siger adalah semacam hiasan kepala untuk pengantin wanita di wilayah Lampung. Mengapa Lampung? Ya, karena bulan lalu aku baru saja menginjakkan kaki di Bumi Rhuwa Jurai, Provinsi Lampung.
Pengantin adat Lampung

Jika dihitung, ini kali ketiga aku berkesempatan untuk jalan-jalan menjelang ujian PBT. Menyenangkan. Di perjalananku kali ini, ada hal-hal mengejutkan yang membuatmu sedikit syok dan membuatku sedikit kelimpungan (pada awalnya).

Oke kita mulai.

Sekitar setengah tahun yang lalu, aku iseng mengirimkan sebuah poster untuk kompetisi ilmiah mahasiswa kesehatan yang dilaksanakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Poster ini aku buat bersamaan untuk kompetisi yang diadakan di Universitas Udayana Bali dan Universitas Trisakti Jakarta karena timeline yang hamper bersamaan. Lalu mengapa aku juga masih saja nekat mengirimkan poster ini kepada panitia? Tak lain dan tak bukan ialah karena pada guideline awal tidak akan ada sesi presentasi sehingga aku tak perlu jauh-jauh untuk berangkat ke Lampung. Semacam mengirit dana perjalanan, pikirku.

Bulan-bulan setelahnya, tepatnya awal tahun ternyata ada perubahan konsep acara. Guideline diubah sedemikian rupa sehingga 15 finalis terbaik diundang untuk menghadiri acara presentasi karya di Unila dan saat itu aku termasuk 15 finalis yang diundang ke Unila. Alhamdulillah.

Setelah melewati reservasi tiket yang cukup membuat dilemma akhirnya aku memutuskan untuk membeli tiket pesawat yang tidak transit. Tidak transit maksudnya adalah tiket perjalanan dari JOG-CGK dan CGK-TKG dibeli secara terpisah, berbeda dengan multiple carrier. Ini menjadi risiko bagi diriku sendiri apabila pesawat dari Yogyakarta mengalami delay, wassalam-lah aku.

13 Maret 2015
Aku mengunci pintu kamar kosku tepat jam 09.00 WIB melanjutkan berjalan kaki hingga kopma UGM untuk membeli souvenir beserta dengan kertas kado, yang nantinya akan kuberikan untuk panitia. Tas trolly yang lumayan gemuk aku sengajak titipkan di shelter Transjogja di depan Gd. Sekolah Vokasi, beruntungnya ibu penjaga shelter kala itu sangat baik dan bersedia aku titipi. Setelah segala urusan souvenir dan camilan selesai, aku menunggu datangnya bus Transjogja antara 15-20 menit di dalam shelter. Dengan sedikit kerepotan membawa tas ransel dan trolly akhirnya aku memasuki bus, perjalanan menuju Bandara Adi Sutjipto akhirnya dimulai.

Rupanya perkiraan waktu tidak meleset, hanya butuh 15 menit akhirnya check in Airasia tujuan Jakarta dibuka. Pada tiket tertulis 12.00 WIB untuk take-off, nyatanya mengalami keterlambatan. Hal ini dikarenakan luas bandara yang sudah tidak muat lagi untuk menampung banyak pesawat sehingga pesawat harus berputar-putar di atas langit Yogyakarta untuk mengantre. Karena tak kunjung mendengar pengumuman, akhirnya kuputuskan untuk menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim, sholat dhuhur.
30 menit kemudian calon penumpang AirAsia tujuan Jakarta baru bisa melakukan boarding. Tidak masalah, masih bisa dikerjar untuk pesawat selanjutnya, pikirku dengan santai. 

Oya, ketika boarding inilah aku bertemu dan dimintai tolong dengan agak sedikit memaksa oleh ibu muda, yang kulihat berpenampilan kekinian. Jika kutaksir usianya sekitar 37-an, suaminya adalah seorang tentara dan telah memiliki 3 orang anak. Ibu ini baru kali pertama naik pesawat seorang diri, hendak pergi ke Padang mengunjungi suaminya yang bertugas disana, kalau tidak salah ibu ini juga bakal menghadiri acara Persit, asosiasi istri tentara, yang kutahu itu.

Apabila dibandingkan dengan maskapai lain, deretan kursi di maskapai AirAsia lebih sempit, jendelanya pun juga. Sejujurnya aku lebih nyaman menggunakan Lion Air. Perjalanan JOG-CGK aku tempuh dalam 55 menit, cukup singkat. Akhirnya sampailah aku di Bandara Soekarno Hatta, bandara terbesar, sekaligus ter-ribet yang pernah aku singgahi. Di sinilah awal mulai, sesuatu yang mendebarkan terjadi. Hal pertama : aku salah dalam menghitung perkiraan waktu, hal kedua : aku harus menolong ibu muda yang tadi telah kuceritakan.

Perlu diketahui, bandara Soetta memiliki beberapa terminal yang jaraknya terpisah cukup jauh sehingga harus memakai shuttle untuk menuju terminal satu ke terminal lainnya. Terminal 1 untuk tujuan Sumatera, terminal 2 untuk tujuan Malaysia dan luar negeri, terminal 3 untuk Jawa dan Bali. Untuk tujuan Sulawesi dan Kalimantan aku lupa di terminal mana, hehe…

Lokasi tempat parkir pesawat dengan bangunan bandara yang cukup jauh menyebabkan koper/barang yang berada di bagasi pesawat membutuhkan waktu 30 menit untuk bisa sampai ditangan. Ini yang tidak aku sukai.

Setelah turun dari pesawat, penumpang berebutan untuk memasuki bus yang disiapkan pihak maskapai menuju pintu masuk ke dalam bangunan bandara. Ternyata ibu ini menungguku karena takut sendirian. Setelah mengambil tas dan segala macam koper yang lumayan banyak, ibu ini bersamaku menuju terminal 1. Di dalam bus ibu ini kebingungan kemana ia akan menukarkan tiket, yak arena tiketnya masih berbentuk softcopy dan segala sesuatu hal terkait pembelian tiket telah diurus suaminya. Ku tunjukkan lokasi CS Sriwijaya Air yang berada di kiri pintu masuk, aku juga menemani ibu ini sehingga urusan per-tiketannya telah selesai.

Tidak ada yang aneh ketika, memasuki area check-in, namun ketika hendak check-in oh Tuhan ternyata pesawatku sudah terbang, “hah, yang bener mas?” itu saja yang kukatakan, petugas Sriwijaya Air juga  ikut stress karena ada penumpangnya yang ketinggalan pesawat. Akhirnya, mas-mas (yang agak sedikit kemayu, bila dilihat dari cara berjalan dan entah mengapa di maskapai ini mas-masnya mayoritas memang kemayu) ini mencoba mencarikan pesawat alternative, aku dipindahkan ke jadwal setelahnya yakni jam 17.25 WIB dengan catatan baru bisa diketahui satu jam sebelum keberangkatan untuk menunggu penumpang yang membatalkan.

Haft, sungguh ini membuatku harap-harap cemas. Ibuku pernah membeli tiket pesawat secara mendadak dan harganya selangit, aku mulai menghitung uang yang ada didompet, di ATM dan di ATM. Tak lupa ibuku juga kukabari, bahwa anak bungsunya ini telah ditinggal oleh kekasihnya pesawatnya. Untuk menenangkan diriku, aku berputar putar di sekeliling bandara, keluar dari area check-in melintasi deretan kursi yang penuh diduduki calon penumpang dan akhirnya kembali lagi ke ruang CS untuk meminta kepastian apakah sudah ada kabar baik untukku.

Di ruang customer service Sriwijaya Air ternyata ada dua penumpang lain yang bernasib sama sepertiku, satu orang bapak-bapak paruh baya yang hendak menuju Riau dan bapak muda, yang kutahu namanya Pak Kurniawan. Mirip dengan namaku memang. Pak Kurniawan ini adalah korban transit, pesawat yang ia tumpangi mengalami delay saat di Balikpapan. Bila kulihat bapak ini agaknya merasa emosi, berkali-kali ia menanyakan kepada petugas dan berkata “Mas, kok lama sih?” dan berkata kepada kami (aku dan bapak yang hendak menuju Riau) “Pesawatnya yang delay, kok kita yang jadi korban. Lama lagi” dengan nada yang cukup kesal. Tidak jauh berbeda dengan Pak Kurniawan, bapak yang satunya lagi juga curhat, namun dengan nada suara yang rendah. 

Oya, hal yang lebih ekstrim lagi terjadi, sebelum aku bertemu dengan kedua penumpang ini, sebelumnya ada penumpang bapak-bapak (juga) yang marah-marah ekstrim, bapak ini merasa dirugikan akibat system transit namun tidak mendapat kursi pengganti, karena ia juga membawa keluarganya, artinya 4 orang tidak mendapat kursi pengganti. Hmm…

Bapak yang menuju Riau sudah mendapatkan kepastian, beberapa menit kemudian Pak Kurniawan menyusul. Aku? Alhamdulillah, 20 menit sebelum take-off akhirnya ada kepastian, aku adalah orang terakhir yang memasuki kabin pesawat, dan mendapat tempat duduk di kelas bisnis. Pendingin ruangan di dalam kabis tak bisa kurasakan, karena untuk memasuki badan pesawat ini aku harus marathon dari lantai 1 berlari menuju lantai 2 dan harus melewati pengecekan barang, dimana guntingku harus ku relakan untuk disita.

Aku tak sempat lagi mengabari LO yang khawatir menungguku di Lampung, karena pesawat hendak berangkat dan telepon genggam sudah kumatikan. Bahkan, saking mepetnya dengan waktu terbang aku harus rela tidak mendapat biscuit Roma Sari Gandum karena pramugari sudah berada di tempat duduknya, beruntungya aku masih mendapat jatah air minum gelas dari maskapai.

Perjalanan aku tempuh dalam 1 jam 10 menit. Menyeberangi selat Sunda, awalnya langit sore biasa saja. Matahari nampak silau sehingga jendela harus buru-buru aku tutup. Tetapi tiba-tiba awan berubah, mendung sangat gelap, gelaap. Aku yang semula nyenyak tertidur, terbangun karena goncangan yang lumayan keras dan kaget ketika membuka jendela dan melihat awan hitam tinggi mengepul keatas. Allahu Akbar! Saat itu, hanya terbayang hal-hal yang….ah sudahlah, manusia terlalu lemah bila dibandingkan hebatnya kekuasaan Allah. Bukankah segala takdir, hidup mati, kaya miskin, jodoh, rizki sudah dituliskan?

Alhamdulillah, kekhawatiranku sirna ketika awan hitam besar terlewati, hanya awan tipis-tipis saja yang terlihat. Akhirnya, beberapa menit lagi kami landing aku melihat area persawahan yang luas, cantik sekali, warnanya hijau. Lalu aku mulai bertanya, “apakah ini benar-benar Lampung?” Mirip di Klaten, yang masih memiliki area persawahan. Lampung rasa Jawa.
Bandara Radin Inten II (photo credit : www.nauzah.com)

Aku mendarat dengan selamat di bandara Radin Inten II, Bandar Lampung dengan disambut rintik hujan yang….romantis. LO segera kukabari, rupanya ia juga menunggu delegasi dari universitas lain. LO-ku ini masih semester 2, berarti satu tinggal dibawahku, namanya Rini, ia sangat perhatian dengan peserta, kalem, dan baik hati. 

Di dalam satu mobil yang menjemputku ternyata aku bertemu delegasi dari UNS dan UNDIP. Dari sinilah kita menjadi sangat akrab, dan terasa masih satu universitas, padahal dari universitas berbeda. Faktor pertama yang membuat akrab adalah kita sama-sama berasal dari wilayah Yogyakarta dan Jawa-Tengah, yang kedua kita berbeda-beda kategori lomba sehingga tidak merasa tersaingi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar